BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut
bahasa Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu"
yaitu ar-rabth(ikatan/ketetapan), Aqidah artinya ketetapan yang tidak
ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah
dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan.
Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari
aqidah adalah aqa-id. Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati
seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
Sedangkan
pengertian akidah menurut istilah Yaitu perkara yang
wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga
menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh
keraguan dan kebimbangan. Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak
terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus
sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika
hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak
dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas
hal tersebut.
B. RUMUSAN
MASALAH.
Seperti
yang telah kita ketahui tentang pengertian aqidah islam dari penjelasan di atas
maka dalam kesempatan kali ini penulis akan mencoba membahas tentang
tingkatan-tingkatan dalam aqidah islam yang meliputi diantaranya :
1. Taqlid
2. Ilmu yaqin
3. Ainul yaqin,dan
4. Haqqul yaqin.
C. TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh dosen pembimbing mata kuliah ini.
2. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan khususnya dalam bidang akidah islam.
BAB II
PEMBAHASAN
TINGKATAN AQIDAH
A.
TAQLID
Menurut bahasa, taqlid -bentuk
masdar dari kata qallada berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang
lain, atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana lehernya diberi
kalung sebagai tanda, atau seperti kambing yang lehernya telah diikat dengan
tali atau tambang yang dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing
yang bersangkutan.
Analisa bahasa ini menunjukkan
kepada kita seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang
mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah kalung di lehernya dan
ia telah mengikat dirinya dengan pendapat mujtahid/imam tersebut.
Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan,
antara lain:
- Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil. Demikian menurut al-Kamal ibn al-hammam dalam at-Tahrir.
- Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut al-Qaffal.
- Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul.
Hukum Taqlid terbagi menjadi :
1. Taqlid yang haram
Ulama sepakat haram melakukan taqlid
ini. Taqlid ini ada tiga macam :
- Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
- Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.
- Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2. Taqlid yang dibolehkan
Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau
beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan
RasulNya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang
bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti
itu.Jadi sifatnya sementara.
Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada
mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu
persoalan.
Termasuk taqlidnya orang awam kepada
ulama.
Ulama muta akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam,
membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
- Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
- Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa
mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian
bahasa).
3. Taqlid yang diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya
dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah
SAW.
Pendapat
imam mazhab tentang Taqlid :
- Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau
mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari
fatwa itu.
- Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang
walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan.
Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita
harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
- Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “
beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa
pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
- Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan
menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para
sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar
diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah
ditinggalkan.
Adapun pembagian taqlid serta
penjelasan hukum setiap bagian itu adalah sebagai berikut
1. Taqlid
orang yang memiliki kemampuan berijtihad kepada seorang ulama setelah tampak
pada dirinya kebenaran berdasarkan dalil-dalil yang ada dari Nabi saw, maka
dalam hal ini tidak diperbolehkan baginya untuk bertaqlid kepada orang yang
bertentangan dengan apa yang telah didapatnya itu (berupa kebenaran)
berdasarkan ijma’ ulama.
2. Taqlid
orang yang telah memenuhi kemampuan berijtihad kepada seorang mujtahid lain
sebelum dirinya mendapatkan hukum syar’i melalui ijtihadnya maka diperbolehkan
baginya untuk bertaqlid dengan mujtahdi lainnya, sebagaimana dikatakan Syafi’i,
Ahmad dan sekelompok ulama dan ini pendapat yang paling tepat dikarenakan
dirinya memiliki kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i maka dirinya
dibebankan untuk melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syar’i didalam
permasalahan itu berdasarkan firman-Nya :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu.” (QS. At Taghabun : 16)
Serta hadits Rasulullah saw,”Apabila aku perintahkan
kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah sesuai kesanggupan kalian.”
3. Taqlid
seorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menelaah dalil-dalil dan
mengeluarkan hukum-hukum darinya kepada seorang yang alim yang telah memenuhi
kemampuan ijtihd terhadap dalil-dalil syar’i maka ini diperbolehkan,
berdasarkan firman Allah swt :
لاَ يُكَلِّفُ
اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 286)
Artinya : “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui.” (QS. Al Anbiya : 7)
Serta dalil-dalil lainnya yang sejenis yang menujukkan
bahwa telah diangkat kesulitan serta untuk melindungi seorang mukallaf dari
jatuh kedalam hukum-hukum lalu mengatakan sesuatu tentang Allah yang tidak
berdasarkan ilmu.
4. Taqlid kepada orang-orang yang menentang syariat islam,
seperti nenek moyang, tuan-tuan, pemimpin-pemimpin ashobiyah atau mengikuti
hawa nafsu maka taqlid yang seperti ini adalah diaharamkan menurut ijma’ ulama.
Kecaman terhadap hal ini banyak terdapat didalam .
B.
ILMU YAQIN
Ilmu yaqin adalah keyakinan akan keberadaan Allah swt
berdasar ilmu pengetahuan tentang sebab akibat atau melalui hukum kausalita,
seperti keyakinan dari para ahli ilmu kalam. Misalnya apa saja yang ada di alam
semesta ini adalah sebagai akibat dari sebab yang telah ada sebelumnya.
Sedangkan sebab yang telah ada sebelumnya yang juga merupakan akibat dari sebab
yang sebelumnya lagi, sehingga sampai pada satu sebab yang tidak diakibatkan
oleh sesuatu sebab, yang disebabkan penyebab pertama atau causa prima. Dan
itulah Tuhan.
Di dalam Ilmul Yaqin
segala pengetahuan ilmu telah diliputi dengan Ilmu Allah sehingga apapun
amaliah maupun ubudiyah itu semua menunjukkan dari pada lautan Ilmu Allah
Ta’ala.
C.
AINUL YAQIN
Ainul
Yaqin adalah keyakinan yang dialami oleh orang yang telah melewati tahap
pertama, yaitu ilmu al yaqin, sehingga setiap kali dia melihat sesuatu
kejadian, tanpa melalui proses sebab akibat lagi dia langsung meyakini akan
wujud Allah; sebagaimana ucapan:
Sayyidina Abu Bakar As Siddiq ra.:
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلاَّ وَرَأَيْتُ اللهَ فِيْهِ
"Tiadalah aku melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah pada sesuatu tersebut"
Sayyidina Abu Bakar As Siddiq ra.:
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلاَّ وَرَأَيْتُ اللهَ فِيْهِ
"Tiadalah aku melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah pada sesuatu tersebut"
Di dalam Ainul Yaqin,
tatkala seseorang ‘arifiin’ telah melihat sesuatu amalaiah dan ubudiyah
diliputi oleh Ilmu Allah kemudian ia menyaksikan bahwa di dalam gerak dan diam
(lelaku) itu adalah saksi Hidupnya Allah Ta’ala yang menunjukkan adanya Allah
Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. dengan Merasakan dan menyadari gerak dan diam,
suara dan perkataan itu adalah saksi hidupnya Allah Ta’ala maka sama halnya ia
merasakan dan menyadari kehadiran Allah Ta’ala dekat sekali dengan dirinya.
“Bukan menghadirkan Allah” akan tetapi menyadari bahwa “Allah senantiasa Maha
Hadir atas dirinya dan sekalian Alam meliputi tiap2 sesuatu”. “Wahuwa Ma’akum
Ainama kuntum” (Dia Allah serta kamu di mana kamu berada).
D.
HAQQUL YAQIN
Haqqul yaqin adalah keyakinan dimiliki oleh orang yang telah
menyadari bahwa alam semesta ini pada hakekatnya adalah bayangan dari Penciptanya,
sehingga dia dapat merasakan wujud yang sejati itu hanyalah Allah, sedangkan
lainnya hanyalah bukti dari wujud yang sejati tersebut, yaitu Allah swt.
Haqqul Yaqin dapat juga
di artikan sebagai kemantapan dalam pendirian yang kokoh setelah ia mengetahui
kemudian ia melihat dengan penyaksian lalu kemudian tertanam sedalam2nya pada
dirinya bahwa : “BAHWA SEGALA SESUATU APAPUN YANG TERLIHAT, TIDAK ADA YANG ADA
MELAINKAN ILMU ALLAH TA’ALA, SEGALA SESUATU APAPUN YANG TERDENGAR TIDAK ADA
YANG ADA MELAINKAN KALAM ALLAH TA’ALA, DAN TIDAK ADA YANG TERASA MAUPUN
DIRASAKAN MELAINKAN SIRRULLAH (ZATULLAH)”.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam pembahasan makalah di atas dapat kita simpulkan bahwa
tingkatan aqidah terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu :
1. Taqlid : Taqlid
adalah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pendapatnya itu tidak
merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan
dalil, Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari
mana orang itu berpendapat, atau Beramal berdasarkan pendapat orang lain
tanpa berdasarkan dalil.
2. Ilmu yaqin :
Ilmu yaqin adalah keyakinan akan
keberadaan Allah swt berdasar ilmu pengetahuan tentang sebab akibat atau
melalui hukum kausalita, seperti keyakinan dari para ahli ilmu kalam
3. Ainul yaqin : Ainul Yaqin adalah
keyakinan yang dialami oleh orang yang telah melewati tahap pertama, yaitu ilmu
al yaqin, sehingga setiap kali dia melihat sesuatu kejadian, tanpa melalui
proses sebab akibat lagi dia langsung meyakini akan wujud Allah.
4. Haqqul yaqin : Haqqul yaqin adalah
keyakinan dimiliki oleh orang yang telah menyadari bahwa alam semesta ini pada
hakekatnya adalah bayangan dari Penciptanya, sehingga dia dapat merasakan wujud
yang sejati itu hanyalah Allah, sedangkan lainnya hanyalah bukti dari wujud
yang sejati tersebut, yaitu Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
ekonomi-robani.blogspot.com/2011/12/taqlid-makalah-taqlid.html
http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.c…
Diakses pada tanggal 9 mei 2012.
Ahmad Mudzakkir Kapuas Timur: Tingkatan Aqidah >>>>> Download Now
BalasHapus>>>>> Download Full
Ahmad Mudzakkir Kapuas Timur: Tingkatan Aqidah >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Ahmad Mudzakkir Kapuas Timur: Tingkatan Aqidah >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK