Ahmad Mudzakkir Kapuas Timur: November 2011

Sabtu, 26 November 2011

Mengapa Murid Sulit Mengungkapkan Pendapat?

Suatu hari, Ibu guru memberikan penjelasan beberapa masalah aktual di depan kelas. Setelah selesai, beliau berkata, “Nah, sekarang bagaimana menurut kalian mengenai masalah ini?” Lima menit pun berlalu dan tidak ada murid yang memberikan pendapat atau tanggapan. Kebanyakan guru akan kebingungan menghadapi situasi ini. Apakah semua murid tidak memperhatikan atau mereka memang tidak bisa menjawab. Dalam psikologi pendidikan, terutama dalam strategi pengajaran, ada kalanya murid memang mengalami kesulitan dalam menggunakan kemampuan bahasa ekspresif. Bahasa ekspresif terkait dengan bagaimana seseorang dapat mengutarakan hasil pemikiran lewat komunikasi dengan orang lain. Tidak sedikit yang mengalami kesulitan dalam memberikan tanggapan atau mengekspresikan pendapat kepada orang lain. Menurut Boyles dan Contadino, siswa yang mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pendapat dapat dikarenakan beberapa faktor, seperti: Malu, menarik diri, dan punya masalah dalam berinteraksi sosial Menunda jawaban Mengalami kesulitan mengolah kata yang tepat Pemikiran yang ruwet dan tidak tertata mengakibatkan sulit dipahami Melewatkan beberapa pemahaman yang diberikan guru (orang lain) Strategi pengajaran yang dapat digunakan untuk mengatasi hal ini dijelaskan oleh John W. Santrok dalam bukunya Educational Psychology, yaitu: Memberi anak kesempatan untuk merespon dalam waktu yang cukup Anak mungkin merasa kesulitan mengutarakan pendapat secara lisan, maka, kita dapat mengatasi dengan meminta mereka menuliskannya di atas kertas Memberi anak clue atau bantuan kata agar anak lebih mudah dalam mengolah diksi yang tepat Memberi anak kesempatan untuk tahu pertanyaan yang akan diajukan agar dapat mempersiapkan diri untuk menjawab

Selasa, 22 November 2011

MAKALAH SOSIOLOGI KEMASYARAKATAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
B. Rumusan Masalah
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
1.      Rendahnya sarana fisik,
2.      Rendahnya kualitas guru,
3.      Rendahnya kesejahteraan guru,
4.      Rendahnya prestasi siswa,
5.      Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
6.      Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
7.      Mahalnya biaya pendidikan.
8.      Kekerasan dalam dunia pendidikan
9.      Permasalahan tentang perilaku remaja.
C. Tujuan penulisan
1.      Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2.      Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
3.      Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
4.      Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia
5.      Mendeskripsikan mengenai perilaku remaja saat ini.















BAB II
DASAR TEORI
PERMASALAHAN DIDALAM DAN DILUAR INSTITUSI PENDIDIKAN
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.












BAB III
PEMBAHASAN DAN ALTERNATIF MASALAH
PERMASALAHAN DIDALAM DAN DILUAR INSTITUSI PENDIDIKAN
A.    Permasalahan didalam institusi pendidikan
1.      Rendahnya sarana fisik
Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan keuangan yang masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN yang masih tinggi serta faktor-faktor lain, telah menyebabkan kondisi sekolah masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian proses belajar mengajar yang belum maksimal, merupakan beberapa kendala nyata yang masih kita hadapi.
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama
Solusi untuk permasalahan prasarana pendidikan antara lain :
-          Perlunya kerjasama pemerintah dan masyarakat menjaga, melindungi, dan memperbaiki sarana pendidikan.
-          Masyarakat membantu memenuhi kekurangan sarana yang diperlukan sekolah.

2.      Rendahnya kualitas guru.
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri
Salah satu bukti rendahnya mutu pendidikan di Indonesia terlihat dari laporan International Education Achievement (IEA). Menurut IEA, kemampuan membaca untuk tingkat SD siswa Indonesia berada dalam urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara kemampuan matematika siswa SLTP Indonesia berada dalam urutan ke-39 dari 42 negara. Adapun kemampuan IPA, Indonesia masuk dalam urutan ke-40 dari 42 negara Jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, ternyata posisi Indonesia tetap berada pada urutan paling bawah. Selanjutnya Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator di atas adalah penguasaan terhadap IPTEK di mana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. (H. Isjoni, 2006:19-20).
Berkaitan dengan fenomena di atas, setidak tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan kita saat ini, yaitu: issu seputar masalah guru, kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah dan issu sarana dan prasarana belajar mengajar.
1.   ISSU seputar masalah guru
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Dalam konteks sosial budaya MBOJO misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “dou ma di to’a” (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masaah kesejahteraan guru.
 2.   Masalah kualitas guru
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD kita saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
Banyak guru yang belum memiliki persyaratan kualifikasi. Guru TK sebanyak 137.069 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 12.929 orang (9,43%). Guru SD sebanyak 1.234.927 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 625.710 orang (50,67%). Guru SMP sebanyak 466.748 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 299.105 orang (64,08%). Guru SMA sebanyak 377.673 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 238.028 orang (63,02%).
Persentase guru layak mengajar terhadap guru menurut status sekolah di NTB SMP/ junior secondary school (JSS) tahun: 2006/2007.
No
Guru
Jumlah/total
%
Negeri
Layak
%
Swasta
Layak
%
Guru
Layak
1
10,736
8,105
75.49
1,374
1,066
77.58
12,110
9,171
75.73
3.      Jumlah guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.
Di NTB perkembangan jumlah guru Negeri dan swasta dari tahun 2003/2004 s/d tahun 2005/2006 yaitu :
No
Tahun
Status sekolah
Jumlah
Negeri
Swasta
1
2003/2004
7,295
673
7,968
2
2004/2005
8,612
884
9,496
3
2005/2006
9,067
1,174
10,241
Namun menurut Supriadi dalam bukunya Mengangkat Citra Guru dan Martabat Guru, ia mengatakan bahwa masalah guru antara lain:
  1. Latar Belakang Guru
Latar belakang pendidikan guru sewaktu SLTA sebagian besar bersal dri SMA (71,7%) Namun sayang tidak disebutkan latar belakang sekolahnya. Padahal ini penting untuk mengetahui kecenderungan sikap siswa terhadap profesi guru.
Fakta di sekolah yang dianggap faforit pada tingkat Kabupaten atau Kota Besar sebagian kecil atau bahkan jarang siswa menduduki rangking atas mempunyai keinginan menjadi guru. Mereka lebih suka memilih profesi yang mempunyai prospek secara ekonomis lebih menjanjikan.
Pada lapisan sekolah di bawahnya, terutama untuk sekolah yang berada di pinggiran, jumlah siswa mendaftar pada Fakultas Keguruan agak lumayan besar. Tetapi hal tersebut lebih menyangkut pada keterpaksaan karena kondisi ekonomi orang tua. Dengan demikian pilihan profesi guru bukan merupakan top priority. ( Dedi Supriadi: 1999)
2.      Banyak Guru Tidak Layak Mengajar
Data Pusat Informatika Balitbang Dikbud 1996/1997 ada 3,72% guru SLTA berpendidikan D2, dan menurut statistik persekolahan 1995/1996 guru yang tidak memenuhi kualifikasi minimal pada tingkat SLTA 26%.
Jumlah guru yang tidak layak mengajar pada SMA ada 75.684 orang. Sedangkan guru yang mengajar tidak sesuai dengan keahliannya ada 15% dari seluruh guru dari tingkat SD sampai dengan SLTA yang berjumlah 2,6 juta guru (Kompas, 9-12-2005). Guru masih jauh dari nilai-nilai profesionalisme. Banyak pergurruan tinggi pendidikan menyelenggarakan program sarjana setengah matang, dengan cara perkuliahan yang minim dan jaminan lulus. Banyak guru mismatch, mengajar tidak sesuai dengan keahlian. Hal ini mengindikasikan bahwa sembarang orang bisa jadi guru, dan jelas tidak tidak mempunyai kompetensi kompetensi untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya, sehingga dapat menurunkan kualitas pembelajaran.
3.      Guru Berprestasi Minim Penghargaan
DP3 berfungsi untuk persyaratan kenaikan pangkat pegawai.Sistem penilaian DP3 tidak lagi bisa mencerminkan kinerja guru yang sesungguhnya. Guru tidak perlu bekerja keras agar DP3-nya mendapat nilai baik, karena kinerja guru seperti apapun, Kepala Sekolah tidak akan berani memberikan penilaian yang obyektif. Sehingga bisa saja terjadi guru yang sering membolos kenaikkan pangkatnya lancar dibanding guru yang rajin. Kasus ini terjadi karena guru yang malas, rajin mengurus kenaikan pangkatnya, sedangkan guru yang rajin malah sebaliknya.
Hak-hak guru berprestasi belum bisa diberikan oleh pemerintah, semua guru mendapat perlakuan yang sama. Hal ini menurunkan motivasi berprestasi dan semangat profesionalisme.
4.      Guru Semakin Terbelakang
Kondisi kesejahterann guru yang memprihatinkan ,mengisyaratkan perlunya perubahan secepatnya sistem penggajian guru berbeda dengan pegawai. Dampak dari sistem penggajian sekarang guru tidak mampu mengalokasikan gajinya untuk membeli buku apalagi melakukan saving. Dapatlah dimaklumi kalau referensi bacaan guru kebayakan berupa LKS atau buku-buku untuk siswa dari penerbit sebagai kopensasi atas dipakainya buku tersebut atas siswanya. Maka tidaklah mengherankan bila guru bukannya semakin maju tetapi malah berjalan di tempat.

Solusi untuk permasalahan ini sebagai berikut:
1.      Pendidikan dan Rekruitmen Guru
Untuk mendapat input guru yang berkualitas dalam rekruitmen perlu di SMA-SMA ada sosialisasi tentang keguruan dan lulusan yang berprestasi diarahkan untuk memasuki jurusan perguruan. Kecuali itu keberadaan  jumlahnya perlu dibatasi, Perguruan tinggi yang mencetak guru harus perguruan tinggi yang berkualitas.
2.      Pembinaan dan Karier Guru
Fungsinya sebagai sarana pembinaan guru tidak berjalan dengan baik karena budaya yang dibangun sejak awal tidak mencerminkan performance guru. Oleh sebab itu dalam penilaian perlu didengar suara siswa, sebab guru sebagai pemberi jasa berupaya untuk memuaskan pelanggan (siswa). Pemberian reward untuk guru berprestasi perlu dilaksanakan.
3.      Rendahnya kesejahteraan guru,
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
Solusi :
Jalan yang dapat dilakukana untuk meningkatkan Profesionalisme guru antara lain:
·         Gaji yang memadai. Perlu ditata ulang sistem penggajian guru agar gaji yang diterimanya setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya dan pendidikan putra-putrinya. Dengan penghasilan yang mencukupi, tidak perlu guru bersusah payah untuk mencari nafkah tambahan di luar jam kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta khawatirakan pendidikan putra-putrinya. Guru mempunyai waktu yang cukup untukmempersiapkan diri tampil prima di depan kelas. Jika mungkin, seorang guru dapat meningkatkan profesinya dengan menulis buku materi pelajaran yang dapat dipergunakan diri sendiri untuk mengajar dan membantu guru-guru lain yang belum mencapai tingkatnya. Hal ini dapat lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya. Jika anak didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih berhasil.
·         Kurangi beban guru dari tugas-tugas administrasi yang sangat menyita waktu. Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang guru, dibuat oleh suatu tim di Diknas atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar dalam mengajar dan membantu guru-guru prmula untuk mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru.
·         Pelatihan dan sarana. Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Beri kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya.
4.      Rendahnya prestasi siswa,
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Solusinya:
-          Perlunya guru-guru yang profesional dalam mengajar.
-          Hentikan formalitas dalam pengajaran.
-          Buang jauh ritualisme dalam pengajaran.
-          Buat suasana pengajaran senyaman mungkin.
-          Menggunakan metode-metode yang tepat dalam mengajar.
-          gaya berhubungan Guru dengan siswa yang menyenangkan.
Lihat beberapa contoh berikut ini.
1.      Guru yang tidak pernah membeda-bedakan siswa mana yang lebih unggul dan tidak akan memberikan kesan kepada siswa bahwa Guru tersebut berlaku adil. Ini salah satu gaya berhubungan Guru dengan siswanya supaya siswanya ketika belajar tidak merasa dikotak-kotakkan. Dengan begitu guru dengan gaya berhubungan semacam ini akan menjadi pengajar yang banyak mendapatkan perhatian dari siswa.
2.      Guru yang suka memberikan penghargaan setiap kali siswanya melakukan suatu hal yang baik dan menghasilkan prdikat memuaskan. Misalnya Guru yang memberikan permen atau minuman secara cuma-cuma kepada siswanya ketika semua siswa di kelas yang dia ajar tidak ada yang remidi. Gaya berhubungan semacan ini menjadikan Guru dan siswa saling menghargai. Guru menghargai jerih payah siswanya dengan memberikan hadiah karena hasil belajar yang memuaskan. Begitu pula sebaliknya siswa akan belajar giat setiap kali ada tes dengan pertimbangan hadiah kecil namun berarti dari Guru mereka menjadi penghargaan yanng luar biasa.
3.      Guru yang selalu menemani siswanya ketika ada pertandingan. Biasanya hal semacam ini dilakukan oleh wali kelas. Gaya berhubungan Guru dengan siswa yang satu ini dapat mempengaruhi siswa secara mental. Karena siswa yang berkompetisi merasa mendapatkan dukungan yang lebih. Sekalipun siswanya kalah dalam kompetisi tersebut, rasa kecewa yang dibawa tidak begitu membebani.
4.       Guru yang selalu memasukkan permainan disela-sela mengajar. Gaya berhubungan semacam ini akan membantu siswa mengatasi kejenuhan selama kegiatan belajar mengajar. Dengan begitu Guru akan lebih dapat mengontrol siswa, begitu pula dengan siswa, ketika mengetahui Guru yang berada dihadapan mereka sik dan menyenangkan mereka tidak akan sungkan untuk mengutarakan keinginan mereka ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung.
5.      Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
Persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakn kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah ini timbul apabila masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung didalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas yang tersedia.
a.  Masalah pemerataan pendidikan dipengaruhi oleh :
1. Perbedaan tingkat sosial ekonomi masyarakat.
2. Perbedaan fasilitas pendidikan.
3. Sebaran sekolah tidak merata.
4. Nilai masuk sebuah sekolah dengan standart tinggi.
5. Rayonisasi.
b.   Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan :
1. Cara konvensional, dengan :
a. Membangun sekolah
b. Menggunakan doubleshift (masuk pagi dan sore).
2. Cara inovatif, dengan :
a. Sistem pamong
b. Kejar paket A dan B
c. SD kecil di daerah terpencil
d. Guru kunjung/Dosen kunjung
e. SMP terbuka
f. Universitas terbuka
6.      Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
Solusi masalah ini yaitu;
·         perlunya pelatihan keterampilan yang siap diberdayakan.
·         pemerintah harus menambah lapangan kerja.
7. Mahalnya biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

8.  Kekerasan dalam dunia pendidikan
Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang guru oleh raga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara camping. Selain tersebut di atas, banyak lagi kasus kekerasan pendidikan masih melembari wajah pendidikan kita.
Dalam melihat fenomena ini, beberapa analisa bisa diajukan: pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antarpelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah.  Misalnya, siswa mbolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan. Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Dan, kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.
Kasus perilaku kekerasan dalam pendidikan juga bervariasi: pertama, kategori ringan, langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan kekerasan susulan atau aksi balas dendam oleh si korban. Untuk kekerasan dalam klasifikasi ini perlu dilihat terlebih dahulu, apakah kasusnya selesai secara intern di sekolah dan tidak diekspos oleh media massa ataukah tidak selesai dan diekspos oleh media massa. Kedua, kategori sedang namun tetap diselesaikan oleh pihak sekolah dengan bantuan aparat, dan ketiga, kategori berat yang terjadi di luar sekolah dan mengarah pada tindak kriminal serta ditangani oleh aparat kepolisian atau pengadilan. Umumnya kasus perilaku kekerasan kategori ringan dan sedang ini terjadi di lingkup sekolah, masih berada dalam jam sekolah/ kuliah dan membawa atribut sekolah. Lingkup inilah yang akan menjadi sosotan dalam penelitian ini.
Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif-analitis ini bertujuan membuat tipologi perilaku kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, terutama pasca reformasi sembari mencari kondisi apa saja yang melatarbelakangi munculnya kekerasan dalam pendidikan tersebut. Sebagai tanggung jawab moral, penelitian ini juga mengusulkan kebijakan publik guna membenahi pendidikan kondisi pendidikan yang lebih humanis, sehingga mampu mencegah berlanjutnya kekerasan dalam pendidikan tersebut.
Kekerasan dalam Pendidikan
Untuk memotret persoalan ini, perlu ditelaah terlebih dahulu kondisi pendidikan dewasa ini, yakni kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan faktor internal yang berpengaruh langsung bagi perilaku para pelajar/ mahasiswa beserta pendidiknya, termasuk perilaku kekerasan. Sedangkan kondisi eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang merupakan faktor tidak langsung bagi timbulnya potensi kekerasan dalam pendidikan.
Merujuk kepada kondisi internal, sejauh ini dijumpai kesenjangan (discrepancy, gap) yang cukup dalam antara upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan (idealitas) dengan kondisi riil yang dialami di lapangan (realitas). Diakui bahwa pemerintah telah berupaya memperhatikan masalah pendidikan nasional sejak awal kemerdekaan, era Orde Baru hingga saat ini. Pada awal Orde Baru, yakni masa Repelita I (1969-1974), jumlah realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor pendidikan dan kebudayaan adalah 77,7 miliar rupiah atau 8,2 % dari total biaya seluruh sektor pembangunan yang mencapai 944,6 miliar rupiah. Sedangkan jumlah realisasi bantuan proyek untuk sektor pendidikan dan kebudayaan mencapai 6,1 miliar rupiah atau hanya 2,1 % dari total bantuan proyek untuk seluruh sektor pembangunan nasional yang mencapai 288,2 miliar rupiah.
Hingga akhir Orde Baru (1998), Angka Partisipasi Kasar (APK) SD termasuk MI telah meningkat dari 111,9 % pada tahun 1995/1996 menjadi 112,4 % pada 1996/1997. Di tingkat SLTP, pada tahun 1996/1997 telah dibangun sebanyak 392 unit gedung baru (UGB) dan 6,5 ribu ruang kelas baru (RKB) yang seluruhnya setara dengan 8,9 RKB. Upaya tersebut telah berhasil meningkatkan daya tampung murid baru SLTP dari sekitar 2,6 juta orang pada tahun 1995/1996 menjadi 2,8 juta orang pada 1996/1997. Jumlah murid seluruhnya juga meningkat yaitu dari 6,9 juta pada 1995/1996 menjadi 7,6 juta pada 1996/1997. Dengan demikian APK sekolah lanjutan SLTP termasuk MTs naik dari 60,8 % pada tahun 1995/1996 menjadi 68,7 % pada tahun 1996/1997 yang berarti telah melampaui sasaran tahun ketiga Repelita VI, yaitu 60,2 %.
Di tingkat SLTA, pada 1995/1996 memiliki murid sebanyak 2,6 juta lalu meningkat pada 1996/1997 menjadi 2,8 juta. Sementara untuk SMK meningkat dari 1,7 juta menjadi 1,8 juta murid. Dengan demikian, APK SLTA meningkat dari 32,8 % pada tahun 1995/1996 menjadi 34,4 pada tahun 1996/1997. Apabila murid MA diperhitungkan, maka APK SLTA pada tahun ketiga Repelita tersebut mencapai 38,0 % yang berarti telah melampaui sasaran ketiga Repelita VI, yaitu 35,4 %.
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), jumlah mahasiswa meningkat dari 2,4 juta pada 1995/1996 menjadi sekitar 2,5 juta orang pada 1996/1997. Namun, karena kenaikan jumlah penduduk usia 19-24 tahun, APK PT pada tahun ketiga Repelita VI masih tetap seperti tahun sebelumnya, yaitu 10,6 %. Apabila jumlah mahasiswa PTA diperhitungkan, maka APK PT pada tahun 1996/1997 adalah 11,8 % yang berarti telah mencapai sasaran tahun ketiga Repelita VI yang juga sebesar 11,8 %.
Pun demikian, kondisi pendidikan kita saat ini sesungguhnya memprihatinkan, terutama sekali di lingkungan SD. Di Banjarmasin, ribuan gedung SD rusak berat. Di Banjarnegara, dari 722 SD yang beroperasi, sebanyak 400 bangunan di antaranya kondisinya rusak parah, sementara 4 bangunan SD sudah roboh. Sebanyak 323 SD/MI di Semarang rusak parah, dan akibat kekurangan murid, 470 SD Inpres se-Jateng di tutup. Di Yogyakarta, 30 % gedung SD rusak, sedang tiap kecamatan di Sleman kekurangan 30 guru. Kondisi demikian dialami oleh SD/MI di beberapa daerah lain.
Selain aspek bangunan, kondisi guru dan murid juga belum menggembirakan. 50 % guru SD yang ada masih di bawah standar, sejumlah 99.033 guru SD di bawah D-2. Alokasi dana yang dianggarkan oleh pemerintah teramat kecil bila dibandingkan dengan kondisi yang ada, apalagi bila ditilik perbandingannya dengan negara lain. Angka drop out juga tinggi. Tercatat sebanyak 15.000 lulusan SD-SLTP di Kabupaten Grobogan tahun pelajaran 2002/2003 diperkirakan tak bersekolah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, di antaranya disebabkan karena pernikahan dini. Sebab ekonomi juga berpengaruh. Sedikitnya 275 anak di Sleman, Yogyakarta, pada tahun 2001 putus sekolah karena kesulitan biaya. Sementara itu, sejumlah 839.645 anak usia sekolah di Jateng terlantar, tidak bisa meneruskan sekolah karena miskin.
Kondisi kesehatan anak sekolah juga memilukan. Di Sidoarjo, berdasarkan penelitian Diskes terhadap siswa-siswi SD/MI dengan sampel berjumlah 350 SD/MI, pada 1993 sebanyak 52,3 % siswa menderita kekurangan yodium, lalu meningkat drastis pada 2002 menjadi 75,6 %. Menurut ahli asma anak, dr Noenoeng Raharjoe, berdasarkan survei dari Aceh hingga Manado, ditemukan fakta bahwa satu dari enam anak SD menderita penyakit asma. Secara umum, di kebanyakan sekolah juga rawan terjangkit Demam Berdarah. Bahkan terjadi puluhan siswa SD Demangan 01 Kota, Madiun, mengalami keracunan setelah minum susu PMTAS (Program Makanan Tambahan Anak Sekolah). Selain itu, di Kulon Progo, Yogyakarta, 54 SMUN 1 Temon yang diduga terjangkit Hepatitis A akan dibekali kaporit. Sementara di Pacitan, dijumpai 50 % pelajar menderita anemia.
Di lingkungan sekolah menengah, baik SLTP maupun SMU juga mengalami nasib tak jauh beda. Di Yogyakarta, 28 % lulusan SLTA menganggur. SMU Negeri maupun Swasta minus siswa. Di Magelang, lulusan SLTP yang melanjutkan ke SMU maupun SMK hanya 51 %. Jumlah pendaftar Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di UNS Solo tahun ini juga menurun.
Sedangkan kondisi eksternal terutama tampak dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, di mana pelaku pendidikan berada di dalamnya. Sejauh ini masalah narkoba, pornografi, miras, dan pergaulan bebas, serta tindak kriminal, merupakan masalah sosio-kultural yang sebagian ditemukan melibatkan pelaku yang terkait dengan simbol dan citra pendidikan.
Selama empat tahun terakhir, angka kejahatan narkoba di Indonesia naik signifikan 90 %, dari 958 kasus pada 1998 menjadi 3.617 kasus pada 2001. Penggunanya bukan lagi masyarakat umum, namun juga kalangan mahasiswa dan pelajar. Peredaran narkoba ini bahkan telah merambah ke kalangan pelajar SLTP dan SD. Di Bogor, 16 siswa SLTP dipecat karena terbukti mengkonsumsi narkoba. Sementara itu di Yogya ditemukan indikasi bahwa pemakaian narkotika ini sudah masuk ke SD.
Hal yang sama juga terjadi pada tayangan pornografi. Pornografi merupakan tantangan besar bagi masyarakat dan pendidikan. Sebab, bila pornografi dibiarkan, akan merusak moral rakyat, membuka peluang perkosaan, dan pernikahan dini. Masalah pergaulan bebas juga menjadi masalah krusial dalam pendidikan kita, terutama bagi pelajar dan mahasiswa. Menurut Romli Atmasasmita, menjadi preman bukanlah karena turunan orang tua, melainkan melalui proses pergaulan ini. Beberapa penelitian mengenai pergaulan bebas ini telah diungkap secara langsung, di antaranya adalah penelitian tentang virginitas para mahasiswa Yogyakarta yang dipublikasikan pada Agustus 2002 yang lalu, terlepas dari polemik dan kontroversi yang muncul mengenai penelitian ini. Paling tidak, penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran pola pergaulan di kalangan pelajar dan mahasiswa, ke arah yang lebih bebas. Kekerasan dalam pendidikan bisa dipengaruhi secara tidak langsung oleh kondisi eksternal ini.
Tipologi Kekerasan dalam Pendidikan
Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan: pertama¸ kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang. Kedua, kekerasan tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor UGM Yogyakarta tentang Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
Ketiga, kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan di Universitas Jember, pencabulan terhadap siswa SD atau SLTP, atau penembakan guru SD hingga tewas. Keempat, kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo lainnya. Sengketa tanah warga dengan pihak sekolah, merupakan contoh yang relevan.
Dari sisi tingkat (level) kekerasan, intensitas suatu kekerasan bisa meningkat dari kekerasan ringan atau potensi menjadi kekerasan tingkat sedang bahkan dapat berlanjut pada kekerasan tingkat berat, berupa tindak kriminal dalam pendidikan. Kekerasan disebut dalam bentuk potensi, bilamana memiliki indikator sebagai berikut: bersifat tetutup, berupa unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi, pelecehan nama baik seseorang, dan ancaman atau intimidasi. Bila kekerasan tertutup berubah menjadi konflik terbuka, unjuk rasa berubah menjadi bentrok, ancaman berubah menjadi tindakan nyata, dan kekerasan defensif menjadi ofensif, maka saat itu juga potensi berubah menjadi kekerasan.
Meski demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu terjadi secara berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu tindak kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai pada potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang terjadi kekerasan berbentuk tindak kriminal, tanpa didahului oleh potensi maupun kekerasan sebelumnya. Akan tetapi penelitian ini ditemukan bahwa pada kasus tertentu kekerasan ringan berlanjut menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak kriminal.
Dari 6 surat kabar yakni Bernas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Republika, Kompas, Suara Merdeka, yang dipilih secara acak (random sampling), ditemukan sebanyak 71 kasus potensi kekerasan atau tingkat ringan yang umumnya terjadi karena sebab tertentu yakni: masalah sistem Penerimaan Siswa Baru (PSB), masalah kenaikan biaya pendidikan, masalah demokratisasi dan transparansi, penyelenggaraan pendidikan, terutama di lingkungan kampus, masalah lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara spontan karena adanya momen tertentu, dan masalah lainnya.
Sedangkan kekerasan dalam kategori sedang, dalam penelitian ini, ditemukan 93 kasus yang sebagian besar muncul secara langsung tanpa didahului oleh kekerasan sebelumnya. Kasus ini berupa kekerasan antar pihak sekolah, kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru terhadap siswa dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan masyarakat terhadap siswa.
Adapun kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya berkutat pada pencabulan, penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan. Siswi SD dan SLTP termasuk yang sering menjadi korban pencabulan yang acap kali dilakukan oleh pelaku yang sudah dikenal atau dekat. Sedang kasus penculikan dilakukan karena motif tertentu seperti permintaan uang tebusan. Aksi pencurian juga mewarnai kekerasan masyarakat kepada pihak sekolah/kampus. Sementara tindak kriminal berupa pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang mencapai 200 kasus dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik permanen dan kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di kalangan pelajar dan mahasiswa, bentuk tindak kriminal yang sering terjadi adalah peredaran dan konsumsi narkoba sebagaimana yang terjadi di Sleman dan Yogyakarta.
Humanisasi Pendidikan
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya pendidik, bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiannya.
Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya”, sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya. Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya.
Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.
Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
Adapun quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan  waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita  ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Dalam Islam, paradigma pendidikan yang dipakai adalah persenyawaan antara anthropocentris dan theocentris. Artinya proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan.
Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat. Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya.
Dimensi theocentris (hablun min Allâh) dan anthropocentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthropocentris  dan dimensi theocentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama, manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan.
Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan. Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis.
Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan. Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi. Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk langit, makhluk moral spiritual (moral spiritual being) dan tidak hidup hanya untuk minum dan makan.
Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
B.     Permasalahan diluar institusi pendidikan.
1.      Permasalahan tentang perilaku remaja.
Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang.
Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu:
  1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
  2. Ketidakstabilan emosi.
  3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
  4. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
  5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.
  6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
  7. Senang bereksperimentasi.
  8. Senang bereksplorasi.
  9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
  10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok.
Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa permasalahan remaja yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang ada pada diri remaja. Berikut ini dirangkum beberapa permasalahan utama yang dialami oleh remaja.
Permasalahan Fisik dan Kesehatan
Permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja awal ketika mereka mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa pubertasnya (remaja tengah dan akhir) permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan/ keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimiliki yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan. Mereka juga sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola mereka. Permasalahan fisik ini sering mengakibatkan mereka kurang percaya diri. Levine & Smolak (2002) menyatakan bahwa 40-70% remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Dalam sebuah penelitian survey pun ditemukan hampir 80% remaja ini mengalami ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya (Kostanski & Gullone, 1998). Ketidakpuasan akan diri ini sangat erat kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang berlebihan tentang penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang maladaptiv (& Shaw, 2003; Stice & Whitenton, 2002). Lebih lanjut, ketidakpuasan akan body image ini dapat sebagai pertanda awal munculnya gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia (Polivy & Herman, 1999; Thompson et al).
Dalam masalah kesehatan tidak banyak remaja yang mengalami sakit kronis. Problem yang banyak terjadi adalah kurang tidur, gangguan makan, maupun penggunaan obat-obatan terlarang. Beberapa kecelakaan, bahkan kematian pada remaja penyebab terbesar adalah karakteristik mereka yang suka bereksperimentasi dan berskplorasi.
Permasalahan Alkohol dan Obat-Obatan Terlarang
Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan. Walaupun usaha untuk menghentikan sudah digalakkan tetapi kasus-kasus penggunaan narkoba ini sepertinya tidak berkurang. Ada kekhasan mengapa remaja menggunakan narkoba/ napza yang kemungkinan alasan mereka menggunakan berbeda dengan alasan yang terjadi pada orang dewasa. Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi.
  • Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orang tua, supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orang tua.
  • Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.
  • Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.
  • Cinta dan Hubungan Heteroseksual
  • Permasalahan Seksual
  • Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua
  • Permasalahan Moral, Nilai, dan Agama
Lain halnya dengan pendapat Smith & Anderson (dalam Fagan,2006), menurutnya kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko dianggap sebagai bagian dari proses perkembangan yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering dilakukan oleh remaja adalah penggunaan rokok, alkohol dan narkoba (Rey, 2002). Tiga jenis pengaruh yang memungkinkan munculnya penggunaan alkohol dan narkoba pada remaja:
Salah satu akibat dari berfungsinya hormon gonadotrofik yang diproduksi oleh kelenjar hypothalamus adalah munculnya perasaan saling tertarik antara remaja pria dan wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang yang sering menyebutnya “jatuh cinta”.
Santrock (2003) mengatakan bahwa cinta romatis menandai kehidupan percintaan para remaja dan juga merupakan hal yang penting bagi para siswa. Cinta romantis meliputi sekumpulan emosi yang saling bercampur seperti rasa takut, marah, hasrat seksual, kesenangan dan rasa cemburu. Tidak semua emosi ini positif. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Bercheid & Fei ditemukan bahwa cinta romantis merupakan salah satu penyebab seseorang mengalami depresi dibandingkan dengan permasalahan dengan teman.
Tipe cinta yang lain adalah cinta kasih sayang (affectionate love) atau yang sering disebut cinta kebersamaan yaitu saat muncul keinginan individu untuk memiliki individu lain secara dekat dan mendalam, dan memberikan kasih sayang untuk orang tersebut. Cinta kasih sayang ini lebih menandai masa percintaan orang dewasa daripada percintaan remaja.
Dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja maka akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya “ketidaknormalan” yang dialaminya berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi, dan sebagainya (Santrock, 2003, Hurlock, 1991).
Diantara perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja yang dapat mempengaruhi hubungan orang tua dengan remaja adalah : pubertas, penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis yang meningkat, harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, teman sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergaulan menuju kebebasan.
Beberapa konflik yang biasa terjadi antara remaja dengan orang tua hanya berkisar masalah kehidupan sehari-hari seperti jam pulang ke rumah, cara berpakaian, merapikan kamar tidur. Konflik-konflik seperti ini jarang menimbulkan dilema utama dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang maupun kenakalan remaja.
Beberapa remaja juga mengeluhkan cara-cara orang tua memperlakukan mereka yang otoriter, atau sikap-sikap orang tua yang terlalu kaku atau tidak memahami kepentingan remaja.
Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak mereka terutama remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda.
Pengawasan terhadap tingkah laku oleh orang dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja karena lingkungan remaja sudah sangat luas. Pengasahan terhadap hati nurani sebagai pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja bisa mengendalikan perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua maupun guru dan segera menyadari serta memperbaiki diri ketika dia berbuat salah.
Dari beberapa bukti dan fakta tentang remaja, karakteristik dan permasalahan yang menyertainya, semoga dapat menjadi wacana bagi orang tua untuk lebih memahami karakteristik anak remaja mereka dan perubahan perilaku mereka. Perilaku mereka kini tentunya berbeda dari masa kanak-kanak. Hal ini terkadang yang menjadi stressor tersendiri bagi orang tua. Oleh karenanya, butuh tenaga dan kesabaran ekstra untuk benar-benar mempersiapkan remaja kita kelak menghadapi masa dewasanya.
Adapun masalah yang dihadapi remaja masa kini antara lain :
a. kebutuhan akan figur teladan
Remaja jauh lebih mudah terkesan akan nilai2 luhur yang berlangsung dari keteladanan orang tua mereka daripada hanya sekedar nasihat2 bagus yagn tinggal hanya kata2 indah.
b. sikap apatis
Sikap apatis meruapakan kecenderungan untuk menolak sesuatu dan pada saat yang b ersamaan tidak mau melibatkan diri di dalamnya. Sikap apatis ini terwujud di dalam ketidakacuhannya akan apa yang terjadi di masyarakatnya.
c. kecemasan dan kurangnya harga diri
Kata stess atau frustasi semakin umum dipakai kalangan remaja. Banyak kaum muda yang mencoba mengatasi rasa cemasnya dalam bentuk “pelarian” (memburu kenikmatan lewat minuman keras, obat penenang, seks dan lainnya).
d. ketidakmampuan untuk terlibat
Kecenderungan untuk mengintelektualkan segala sesuatu dan pola pikir ekonomis, membuat para remaja sulit melibatkan diri secara emosional maupun efektif dalam hubungan pribadi dan dalam kehidupan di masyarakat. Persahabatan dinilai dengan untung rugi atau malahan dengan uang.
e. perasaan tidak berdaya
Perasaan tidak berdaya ini muncul pertama-tama karena teknologi semakin menguasai gaya hidup dan pola berpikir masyarakat modern. Teknologi mau tidak mau menciptakan masyarakat teknokratis yang memaksa kita untuk pertama-tama berpikir tentang keselamatan diri kita di tengah2 masyarakat. Lebih jauh remaja mencari “jalan pintas”, misalnya menggunakan segala cara untuk tidak belajar tetapi mendapat nilai baik atau ijasah.
f. pemujaan akan pengalaman
sebagian besar tindakan2 negatif anak muda dengan minumam keras, obat2an dan seks pada mulanya berawal dari hanya mencoba-coba. Lingkungan pergaulan anak muda dewasa ini memberikan pandangan yagn keliru tentang pengalaman.
Bentuk2 dari perbuatan yang anti sosial antara lain :
a. Anak2 muda yang berasal dari golongan orang kaya yang biasanya memakain pakaian yang mewah, hidup hura2 dengan pergi ke diskotik merupakan gaya hidup mewah yang tidak selaras dengan kebiasaan adat timur.
b. Di sekolah, misalnya dengan melanggar tata tertib sekolah seperti bolos, terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan tugas dan lain sebagainya.
c. Ngebut, yaitu mengendarai mobil atau motor ditengah-tengah keramaian kota dengan kecepatan yang melampaui batas maksimum yang dilakukan oleh para pemuda belasan tahun.
d. Membentuk kelompok (genk2) anak muda yang tingkah lakunya sangant menyimpang dengan norma yagn berlaku di masyarakat, seperti tawuran antar kelompok.
Strategi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Penanganan di Lingkungan Sekolah
Salah satu penyebab anak usia sekolah nakal karena tidak memiliki sistem nilai sebagai pedoman dalam kehidupanya. Dengan demikian, mereka sangat mudah untu mengadopsi sesuatu yang ada di masyarakat tanpa menyaring terlebih dahulu. Untuk itu sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal harus mengubah sistem pengajaran yang lebih menekankan pada aspek kognitif, ke sistem pengajaran yang seimbang antara kognektif, afektif dan psikomotor. Perpaduan ketiga aspek tersebut akan memberikan bekal kepada siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penggarapan aspek afektif (sikap, minat, sistem nilai, apresiasi) akan berdampak positif terhadap perilaku siswa.
Pada dasarnya setiap siswa memiliki sistem nilai, jika sistem nilai ini kita klarifikasikan maka akan mempengaruhi perilaku siswa baik secara individu maupun secara berkelompok. Penanaman sistem nilai kepada siswa di sekolah hendaknya dengan berbagai strategi dengan melibatkan semua guru bidang studi. Menanggulangi masalah kenakalan remaja termasuk pengguna narkoba (narkotik dan obat terlarang ) khususnya di sekolah perlu kerjasama antara guru agama, PPKn, bimbingan konseling, olahraga kesehatan, dan biologi secara terintegrasi
a. Pendekatan melalui Agama
Guru agama dalam menjelaskan masalah kenakalan ramaja (perilaku menyimpang, penggunaan narkotik, minuman keras) bisa dengan cara memberi tugas kepada siswa untuk mencari ayat Al-Quran dan hadist nabi yang berkaitan dengan masalah tersebut, sehingga siswa akan memahami betul isi dari ajaran agama yang diyakininya berkaitan dengan permasalahan. Harus diingatkan bahwa mempelajari Al-Quran dan hadist nabi harus dimulai dengan keyakinan bukan dimulai dari keraguan sebagaimana mempelajari ilmu. Dengan demikian, tidak akan menyalahkan alquran maupun hadist jika yang terdapat dalam pikiranya berbeda. Justru dengan kejadian itu dapat dijadikan sebagai bahan renungan dan koreksi diri apa yang telah diperbuat.
Dengan strategi pemberian tugas tersebut diharapkan siswa akan mengerti menyadari, dan memahami dengan penuh makna apa yang dipelajari sehingga mereka taat akan agamanya, serta mengetahui akibat jika melakukan tindakan yang salah. Pada dasarnya setiap agama melarang umatnya memakai atau mengonsumsi norkoba. Dalam hal ini agama Islam dengan tegas melarang umatnya minum minuman keras. Agama Islam menganjurkan pada umatnya agar sesama manusia untuk saling mengenal, menolong, dan bekerjasama bukan untuk saling berkelahi., karena dengan saling tolong menolong dan bekerjasama akan mendatangkan suatu keuntungan.
Problem kenakalan remaja dan narkoba jika dikaji dari berbagi ilmu akan memiliki tujuan yang luar biasa. Misalnya minuman keras akan menyebabkan manusia mabuk (tidak sadarkan diri) sehingga tindakan yang dilakukan cenderung merugikan orang lain. Secara logika saja tidak mungkin dalam keadaan mabuk seseorang melakukan sesuatu dengan benar.
b. Pendekatan Moral dan Hukum (PPKN)
PPKn merupakan bidang studi yang mengajarkan nilai, norma, dan moral kepada siswa, untuk itu guru PPKn memeliki kewajiban untuk ikut menyelesaikan masalah kenakalan remaja. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara melalui proses pembelajaran dengan menggunakan multi metode dan media seperti Value Clarification Technik (pembinaan nilai), sosio drama, bermain peran, liputan, diskusi, pertemuan kelas, dan pemberian tugas. Penggunaan metode ini hendaknya disesuaikan dengan pokok bahasan, situasi dan kondisi sehingga benar-benar dapat bermakna bagi siswa.
Penggunaan metode VCT (pembinaan nilai) baik VCT percontohan, skala sikap, daftar baik buruk dapat melatih siswa untuk memilih sistem nilai yang akan diyakini dalam menghadapi suatu masalah. Dengan sering dilatih emosinya ini, maka diharapkan remaja (siswa) dapat menyaring atau memilah-milah suatu informasi dari media masa maupun masyarakat.
Guru dapat memberi tugas kepada siswa untuk mencari contoh masalah kenakalan remaja yang ada di masyarakat. Tugas ini diberikan kepada siswa dengan tujuan agar mereka lebih sensitip terhadap problem yang terjadi di masyarakat. Kemudian siswa diberi kesempatan untuk memberikan kometar, penyebab dan akibat remaja melakukan perbuatan yang menyimpang serta bagaimana cara mengatasinya. Tugas tersebut akan melatih siswa untuk mengetahui secara mendalam tentang permasalahan remaja dan cara-cara untuk menyelesaikan. Kegiatan ini juga dapat melatih siswa bersosialisasi dengan masyarakat lingkunganya. Hal ini sejalan dengan pembelajaran portofolio dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK)
Di samping itu guru hendaknya menugaskan kepada siswanya untuk mencari pasal-pasal dalam hukum pidana (tentang perkelaian, penganiayaan, minuman keras dan pengguna narkoba) kemudian didiskusikan di dalam kelas untuk dicari solusinya. Dalam diskusi agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebaiknya melibatkan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) sebagai nara sumber untuk menjelaskan sebab akibat dari penggunaan narkoba, berkelahi, minuman keras, dan berbuat kekerasan lainya ditinjau dari hukum.
c. Pendekatan melalui olahraga kesehatan
Olahraga adalah salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kenakalan remaja terutama pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian di Yogyakarta bahwa anak-anak remaja memakai narkoba dengan alasan untuk menghilangkan stres, mendapatkan ketenangan, mencari kesenangan dan kenikmatan, menyesuaikan dengan perilaku teman.
Alasan tersebut hanyalah merupakan jalan pintas dalam menyelesaikan masalah yang dilakukan oleh remaja, sebenarnya masih banyak jalan lain untuk menyelesaikan antara lain dengan berolah raga. Sekolah hendaknya mengaktifkan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. sebab olah raga memiliki manfaat antara lain:
1. Merangsang keluarnya B indorfin yang merupakan morfin yang diproduksi oleh tubuh sendiri. Hal ini dapat mendatangkan rasa senang, tenang, dan sakit.
2. Mengurangi kadar garam yang tinggi. Zat ini dapat membuat cemas, pemarah dan stres.
3. Menambah osigen otak. Cukupnya oksigen otak akan memperbaiki suasana hati dan menambah daya konsentrasi
4. Memproyeksikan kemarahan dan kecemasan. Kemarahan dapat dilampiaskan dengan cara memukul bola keras-keras, berlari dan sebagaimya

d. Pendekatan melalui Bimbingan Konseling (BP)
Bimbingan konseling sangat berperan dalam menangani masalah siswa (remaja). Melaui BP diharapkan siswa mau menyampaikan masalah yang dihadapinya, karena BP memiliki keahlian khusus dalam bidang psikologi. Pendekatan yang digunakan haruslah humanis melalui sentuhan jiwa (rohani). Dengan demikian, diharapkan BP dapat dijadikan tempat berdialog para siswa dalam mengahadapi suatu persoalan. Dengan pendekatan ini maka siswa merasa dilindungi (diperhatikan).
Selain itu juga perlu diadakan razia narkoba secara rutin dan terprogram. Razia hendaknya dilaksanakan dengan semua guru yang dilakukan dengan serempak dan terorganisir sehingga siswa tidak dapat mengelak jika diketemukan membawa narkoba di dalam tas maupun sakunya.
e. Pendekatan melalui Biologi
Biologi merupakan ilmu yang mempelajari makluk hidup salah satunya adalah manusia. Dalam proses belajar mengajar guru biologi perlu menyisisipkan bahasan tentang bahaya narkoba terhadap tubuh manusia. Manusia yang mengonsumsi narkoba maka daya tahan fisik, fungsi otak akan berkurang. Bahkan berdasarkan hasil penelitian akibat narkoba terhadap otak adalah encernya cairan otak yang mengakibatkan lambat berpikir. Dengan penjelasan yang disampaikan guru diharapkan siswa betul-betul mengetahui akibatnya jika mereka mengonsumsi narkoba.
2. Penanganan di lingkungan keluarga.
Keluarga sebagai tempat pendidikan anak pertama harus lebih peka terhadap perkembangan perilaku anaknya. Dengan demikian, diharapkan anak dapat berkembang sesuai dengan nilai, norma yang berlaku. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut yang harus dilakukan orang tua antar lain adalah sebagai berikut:
Pertama harus ditanamkan nilai dan norma agama dalam diri anak. Karena agamalah yang dapat mengendalikan perilaku manusia. Jika melakukan ajaran agama dengan baik maka baiklah perilakunya tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berdiskusi tentang berbagai permasalahan yang dihadapi remaja ditinjau dari agama dan bidang lain, melakukan sholat berjamaah.
Kedua orang tua harus dapat meluangkan waktunya untuk berkumpul dengan anaknya dalam rangka memahami, mengetahui kebutuhan psikis maupun fisik serta permasalahan yang dihadapi anaknya. Memecahkan permasalahan yang dihadapi anaknya yang sudah remaja hendaknya melibatkan seluruh anggota keluarga, dengan mendengarkan pemasukan dari semua amggota keluarga maka permasalahan tersebut dapat diselesaikan lebih baik.
Ketiga orang tua harus mengetahui teman-teman dekat anaknya. Hal ini dilakukan agar dapat lebih mudah mengontrol anaknya, apakah temanya tersebut baik ataukah anak brandalan. Perilaku remaja selain dipegaruhi oleh keluarga juga oleh teman sebaya, maka dalam memilih teman bergaul juga harus memperhatikan latar belakangnya. Orang tua dengan mengetahui teman-teman dekatnya sehingga mereka dapat memberikan suatu pandangan kepada anaknya bagaimana seharusnya bergaul.
3. Penanganan Di Lingkungan Masyarakat (Bidang Sosial)
Kepedulian masyarakat terhadap masalah remaja perlu ditingkatkan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengawasi kegiatan remaja dalam masyarakat. Masyarakat hendaknya memberikan suatu saran kepada para remaja jika mereka melakukan suatu tindakan yang menyimpang dari niai-niai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kepedulian ini juga dapat diwujudkan dengan cara melaporkan kepada yang berwajib (polisi) jika mengetahui adanya perdagangan obat terlarang, melakukan perkelahian, minum-minuman keras ataupun melakukan tindakan kekerasan yang lainya. Kepedulian masyarakat ini akan membantu dalam mengatasi permasahan kenakalan remaja. Hal lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah mengajak remaja dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarkat (gotong royong, aktif dalam kegiatan kepemudaan, keagamaan) serta memberikan suatu keterampilan yang berguna dalam hidupnya..
4. Penanganan oleh Pemerintah (bidang politik)
Generasi muda adalah pemegang tongkat estafet pembangunan bangsa. Ada sebagian masyarakat kita berpendapat jika pemuda rusak maka rusaklah bangsa namun jika pemuda baik, maka baiklah bangsa ini. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat menyiapkan generasi muda yang beriman dan bartaqwa, berkepribadian luhur, dan kreatif. Untuk mewujudkan itu maka pemerintah harus memiliki langkah-langkah kongkrit. Langkah-langkah tersebut antara lain:
a. Lebih mengaktifkan kembali kegiatan organisasi kepemudaan seperti karang taruna, KNPI, dan organisasi-organisasi kepemudaan yang lain. Hal ini dilakukan untuk memecahakan permasalahan yang dihadapi remaja denga cara berdialog antar remaja dan juga bisa digunakan sebagai kegiatan para remaja untuk berkreasi.
b. Melakukan penyuluhan tentang bahaya narkoba pada remaja sampai ketingkat pedesaan.
c. Meningkatkan dan membuka pelatihan-pelatihan untuk generasi muda. Kegiatan ini akan memberikan suatu keterampilan para remaja sehingga bisa mengurangi pengangguran. Akhirnya kegiatan yang negatif dari remaja dapat ditekan seminimal mungkin.
d. Memberikan hukuman yang berat kepada pengguna narkoba dan tindak kriminal. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa remaja yang menggunakan narkoba, melakukan tindakan kriminal, minum-minuman keras pada umumnya mereka sudah mengetahui bahaya narkoba bagi kesehatan, akibat melanggar hukum, dan tindakan merugikan orang lain.






BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. Kesimpulan

Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
(8) . Kekerasan dalam dunia pendidikan
(9). Permasalahan tentang perilaku remaja.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.

B. Saran

Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.





DAFTAR PUSTAKA
http://sekorakyat.org/penyaluran-dana-bos-yang-bikin-masalah.html
http://rinangesty.student.umm.ac.id/category/1-masalah-pemerataan-pendidikan/
Direktorat Dikmenum Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta.
Supriadi, Dei. 1999. Mengangkat Citra Guru dan Martabat Guru. Yoyakarta: Adicita Karya Nusa.
Wirawan. 2001.Evaluasi Program Pendidikan: bahan kuliah Program Studi Magister Pendidikan. Jakarta: UHAMKA Press.
Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Penilaian Kelas. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan.
Departemen Pendidikan Nasional (2008). Pedoman Penyusunan Portofolio. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=9232