BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap
orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara
sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang
sehat, kuat, berketerampilan, cerdas, pandai, dan beriman. Bagi orang Islam,
beriman itu adalah beriman secara Islam. Dalam taraf yang sederhana, orang tua
tidak ingin anaknya lemah, sakit-sakitan, penganggur, bodoh, dan nakal. Pada
tingkat yang paling sederhana, orang tua tidak menghendaki anaknya nakal dan
menjadi penganggur. Dan terakhir, pada taraf paling minimal ialah jangan nakal.
Kenakalan akan menyebabkan orang tua mendapat malu dan kesulitan.
Untuk
mencapai tujuan itu, orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama.
Kaidah ini ditetapkan secara kodrati; artinya, orang tua tidak dapat berbuat
lain, mereka harus menempati posisi itu dalam keadaan bagaianapun juga.
Mengapa? Karena mereka ditakdirkan menjadi orang tua anak yang dilahirkannya.
Oleh karena itu, mau tidak mau mereka harus menjadi panggungjawab pertama dan
utama. Kaidah ini diakui oleh semua agama dan semua sistem nilai yang dikenal
manusia.
Sehubungan
dengan tugas serta tanggung jawab itu maka ada baiknya orang tua mengetahui
sedikit mengenai apa dan bagaimana pendidikan dalam rumah tangga. Pengetahuan
itu sekurang-kurangnya dapat menjadi penuntun, rambu-rambu bagi orang tua dalam
menjalankan tugasnya.
B. Permasalahan
1.
Pendidikan Agama dalam Rumah
tangga
2.
Mainan
Anak-anak
3.
Teman bermain
anak
4.
Pergaulan Remaja
BAB II
PEMBAHASAN
Perlunya Pendidikan Agama dalam Rumah Tangga
A. Perlunya Pendidikan Agama dalam Rumah Tangga
Tatkala kita berbicara tentang metode
pendidikan agama di sekolah, salah satu kesimpulan penting ialah bahwa kunci
keberhasilan pendidikan agama di sekolah bukan terutama terletak pada metode
pendidikan agama yang digunakan dan penguasaan bahan; kunci pendidikan agama di
sekolah sebenarnya terletak pada pendidikan agama dalam rumah tangga. Inti pendidikan agama dalam rumah
tangga itu ialah hormat kepada Tuhan, kepada orang tua, kepada guru. Nah, di
sekolah, hormat kepada guru inilah kuncinya. Bila anak didik tidak hormat
kepada guru, berarti ia juga tidak akan menghormati agama. Bila agama Islam dan
guru agama tidak dihormati, maka metode pendidikan agama yang baik pun tidak
akan ada artinya Itulah yang umumnya terlihat sekarang, terutama di sekolah umum.
Oleh karena itu, pendidikan agama dalam rumah tangga sebenarnya (ini
betul-betul sebenarnya) tidak boleh terpisah dan pendidikan agama di sekolah;
mula-mula adalah pendidikan agama dalam rumah tangga sebagai fondasi, kemudian
dilanjutkan di sekolah sebagai pengembangan rinciannya. Berdasarkan itu semua
maka di sini dibicarakan prinsip-prinsip pendidikan agama dalam rumah tangga.
Karena
memahami pentingnya pembinaan kesejahteraan anak, pemerintah Republik Indonesia
telah mengeluarkan undang-undang tentang itu pada tahun 1979, bertepatan dengan
Tahun Anak Internasional. Undang-undang itu menjadi landasan hukum bagi
pembinaan anak Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak. Hal ini amat penting untuk Indonesia karena sejak semula,
dengan pandangan hidup Pancasila, pembangunan Indonesia selalu memandang
manusia sebagai titik sentral. Pembangunan itu berawal dan pembinaan anak, dan
itu tentulah dalam rumah tangga.
Pengertian
kesejahteraan anak dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1979 itu, sebagaimana
disebutkan dalam Bab I Pasal 1 (a), ialah sebagai benkut: “Kesejahteraan anak
ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan
dan perkembangan dengan wajar baik segi rohani, jasmani, dan sosial.’ Jadi, pembinaan
itu harus mencakup agama, kesehatan dan gizi, pendidikan, kependudukan,
kehidupan berbangsa dan bernegara, ketenagakerjaan, kemampuan dan kesempatan
kerja, lingkungan hidup, pangan, kesetiakawanan sosial, cinta tanah air,
pertahanan-keamanan, dan lain-lain.” Dengan demikian, pembinaan kesejahteraan
anak menyangkut usaha bangsa yang sangat strategis dan mendasar.
Berdasarkan
uraian itu maka jelaslah bahwa pembangunan sumber daya manusia, termasuk
pembinaan anak, erat sekali kaitannya dengan penumbuhan nilai-nilai seperti
takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, jujur, berdisiplin, dan memiliki etos kerja
yang tinggi. Hal ini bukanlah merupakan suatu proses sesaat, melainkan suatu
proses yang panjang yang harus dimulai sedini mungkin, yaitu sejak masa anak-anak.
Itu adalah pendidikan dalam rumah tangga.
Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat
wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak
tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan
bagi anak-anak dalam rumah tangga. Tuhan memerintahkan agar setiap orang tua
menjaga keluarganya dan siksa neraka:
“Jagalah dirimu dan keluargarnu dan siksaan neraka”.
Jadi, tanggung jawab itu pertama-tama adalah sebagai suatu
kewajiban dari Allah; kewajiban harus dilaksanakan. Kewajiban itu dapat
dilaksanakan dengan mudah dan wajar karena orang tua memang mencintai anaknya.
lni merupakan sifat manusia yang dibawanya sejak lahir. Manusia mempunyai sifat
mencintai anaknya. Ini terlihat dalam surat al-Kahfi
ãA$yJø9$# tbqãZt6ø9$#ur èpuZÎ Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( àM»uÉ)»t7ø9$#ur àM»ysÎ=»¢Á9$# îöyz yZÏã y7În/u $\/#uqrO îöyzur WxtBr& ÇÍÏÈ
“Harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi
saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.”
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa manusia membawa sifat menyangi harta dan anak-anak.
Bila orang tua memang telah mencintai anaknya, maka tentulah ia tidak akan
sulit mendidik anaknya. Dalam surat al-Furqan
t tûïÏ%©!$#ur
cqä9qà)t
$oY/u
ó=yd
$oYs9
ô`ÏB
$uZÅ_ºurør&
$oYÏG»Íhèur
no§è%
&úãüôãr&
$oYù=yèô_$#ur
úüÉ)FßJù=Ï9
$·B$tBÎ)
ÇÐÍÈ
“Dan orang
orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri
Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa.”
Cinta
kepada anak telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabatnya. Itu
berarti juga pelajaran untuk segenap Muslim.
“Seorang
Badui datang kepada Nabi saw. dan bertanya, “Apakah engkau menciumi putra-putri
engkau? Kami tidak pernah menciumi anak-anak kami.’ Nabi berkata, Apakah kamu
tidak takut bila Allah mencabut kasih sayang dan hatimu?” (Al-Bukhari)
Berdasarkan
kutipan itu jelaslah bahwa menurut Islam, orang tua wajib mendidik anaknya.
Jika Nabi melihat sahabatnya tidak menyayangi anaknya, dia menegurnya dengan
keras. Nabi sendiri amat sayang kepada anak-anak.
“Nabi
pernah mencium cucunya, Hasan bin Ali. Waktu itu ada Aqra bin Habis al-Tamimi
sedang duduk. Ia berkata, “Saya punya anak sepuluh, seorang pun tidak perriah
saya cium.” Maka Nabi menoleh kepadanya dan berkata, “Orang yang tidak
mengasihi tidak dikasihi.”
(Al-Bukhari)
Al-Bukhari
meriwayatkan dan Anas bin Malik bahwa telah datang kepada Aisyah seorang ibu
bersama dua anaknya yang masih kecil. Aisyah memberian tiga potong kurma kepada
wanita itu. Diberilah olehnya anak-anaknya masing-masing satu, dan yang satu
lagi untuknya. Kedua kurma itu dimakan anaknya sampai habis, lalu mereka
menoleh ke arah ibunya. Sang ibu membelah kurma (bagiannya) menjadi dua, dan
diberikannya masing-masing sebelah kepada kedua anaknya. Tiba-tiba Nabi saw.
datang, lalu diberi tahu oleh Aisyah tentang itu. Nabi saw. bersabda, “Apakah
yang mengherankanmu dan Kejadian itu, sesungguhnya Allah telah mengasihinya
berkat kasih sayangnya kepada kedua anaknya.”
Uraian
di atas itu menegaskan bahwa (1) wajib bagi orang tua menyelengarakan pedidikan
dalam rumah tangganya, dan (2) kewajiban itu wajar (natural) karena Allah
menciptakari orang tua yang bersifat mencintai anaknya. Jadi, pertama hukumriya
wajib, kedua memang orang tua senang mendidik anak-anaknya. Inilah modal utama
bagi pendidikan dalam keluarga.
Cinta
kepada anak sering kali menyebabkan orang tua membanggakan anaknya. Perilaku
orang tua seperti itu sebenarnya tidak terlalu salah; itu adalah salah satu
kewajaran manusia. Jika orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya banyak,
maka orang tahu hewan juga banyak anaknya. Jadi, rnembanggakan anak dan segi
banyaknya tidak logis.
Hendaknya
sadar bahwa membanggakan anak sering juga menjadi penyebab kita dibenci orang.
Sebab, kebanyakan orang tidak senang bila kita menceritakan atau memperlihatkan
kelebihan kita, lebih-lebih bila kélebihan kita itu dilebih-lebihkan. Dalam
surat Saba ayat 35 :
(#qä9$s%ur
ß`øtwU
çsYò2r&
ZwºuqøBr&
#Y»s9÷rr&ur
$tBur
ß`øtwU
tûüÎ/¤yèßJÎ/
ÇÌÎÈ
Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta
dan anak- anak (daripada kamu) dan Kami sekali-kali tidak akan diazab.”
Anak
sering pula menyebabkan orang lupa kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka sibuk
mengurus anak-anaknya. Mereka bekerja mati-matian untuk mencari uang agar semua
permintaan anaknya dapat dipenuhi, ya, karena cinta kepada anak. Kadang-kadang permintaan
yang tidak masuk akal pun dipenuhi, demi cinta kepada anak. Sayang anak
menyebabkan orang korupsi atau mencuri. Semuanya itu menyebabkan orang dapat
lupa kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kadang-kadang,
karena orang merasa anak-anaknya kuat, cerdas, juara kelas, pemberani, maka
orang tua merasa hidupnya akan aman. Oleh karena itu, mereka mulai tidak banyak
lagi merasa bergantung pada Allah; lama kelamaan mereka meninggalkan Tuhan.
Sering kali orang tua membela anaknya yang jelas-jelas berbuat salah sampai
orang tua itu lupa bahwa membela yang salah adalah pelanggaran aturan Allah.
Artinya, ia lupa kepada Allah.
Orang
tua dapat juga menjadi budak anaknya; ia merasa wajib memenuhi segala keinginan
anaknya, seperti dikatakan di atas, sampai Ia kalah oleh anaknya. Kewibawaan
orang tua telah hilang; ia dibentak oleh anaknya karena terlambat atau tidak
mampu memenuhi permintaan anaknya. Bila ia menyuruh anaknya salat pada pagi
hari, ia tidak berani membangunkannya, takut anaknya kaget, atau khawatir
anaknya marah. Amar makruf nahi munkar tidak dapat lagi dilakukannya terhadap
anaknya, sekalipun kepada orang lain ia mampu. Dalam keadaan seperti itu, orang
tua telah lupa kepada Allah karena anaknya. Kesibukan mencari nafkah dapat
menyebabkan orang tua lupa mengerjakan ibadah seperti salat dan puasa, bahkan
lupa pula bahwa ia wajib jujur. Ayat al-Quran berikut perlu direnungkan kembali
oleh kita (orang tua): Surat Saba’: 37
!$tBur
ö/ä3ä9ºuqøBr&
Iwur
/ä.ß»s9÷rr&
ÓÉL©9$$Î/
ö/ä3ç/Ìhs)è?
$tRyZÏã
#s"ø9ã
wÎ)
ô`tB
z`tB#uä
@ÏJtãur
$[sÎ=»|¹
y7Í´¯»s9'ré'sù
öNçlm;
âä!#ty_
É#÷èÅeÒ9$#
$yJÎ/
(#qè=ÏHxå
öNèdur
Îû
ÏM»sùãäóø9$#
tbqãZÏB#uä
ÇÌÐÈ
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan
(pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka Itulah yang
memperoleh Balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka
kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).”
(QS.Saba’:37)
Seseorang
dikatakan telah melupakan Allah dan Rasul-Nya bila ia lebih mementingkan
melakukan sesuatu untuk kepentingan anaknya ketimbang untuk kepentingan
menegakkan ajaran Allah. Hendaknya diingat firman Allah dalam surat al-Taubah
ayat 24:
ö@è%
bÎ)
tb%x.
öNä.ät!$t/#uä
öNà2ät!$oYö/r&ur
öNä3çRºuq÷zÎ)ur
ö/ä3ã_ºurør&ur
óOä3è?uϱtãur
îAºuqøBr&ur
$ydqßJçGøùutIø%$#
×ot»pgÏBur
tböqt±ørB
$ydy$|¡x.
ß`Å3»|¡tBur
!$ygtRöq|Êös?
¡=ymr&
Nà6øs9Î)
ÆÏiB
«!$#
¾Ï&Î!qßuur
7$ygÅ_ur
Îû
¾Ï&Î#Î7y
(#qÝÁ/utIsù
4Ó®Lym
ÎAù't
ª!$#
¾ÍnÍöDr'Î/
3
ª!$#ur
w
Ïöku
tPöqs)ø9$#
úüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇËÍÈ
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak
, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad
di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Boleh
bangga bila anak kita memang hebat, itu adalah karena cinta pada anak, tetapi
jangan berlebihan, cukup di dalam hati saja. Itu wajar. Cinta kepada anak jangan
hendaknya menyebabkan lupa kepada Allah; cinta kepada Allah dan Rasulnya harus
melebihi cinta kepada apa pun. Jika memang cinta kepada anak, didiklah anak
sebaik-baiknya, sedini mungkin.
Orang
tua mendidik anaknya karena kewajaran, karena kodratnya; selain itu karena
cinta. Mengingat uraian di atas, maka secara sederhana tujuan pendidikan anak
di dalam keluarga ialah agar anak itu menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh
itulah anak yang wajar dibanggakan. Tujuan lain ialah sebaliknya, yaitu agar
anak itu kelak tidak menjadi musuh orang tuanya, yang akan mencelakakan orang
tuanya. Anak yang saleh dapat mengangkat nama baik orang tuanya. Anak adalah
dekorasi keluarga. Anak yang saleh tentu mendoakan orang tuanya. Bila tidak
mendoakan orang tuanya, kesalehannya itu telah cukup merupakan bukti amal baik
orang tuanya.
Anak dapat
juga menjadi musuh orang tuanya. Itu dapat saja terjadi bila anak tidak dididik
dengan benar. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah
saw. berkata:
“Bukanlah
musuhmu orang yang bila kamu bunuh, kamu akan menjadi pemenang; dan kalau kamu
terbunuh, kamu akan masuk surga; tetapi musuhmu terkadang adalah anak yang
lahir dan tulang rusukmu sendiri. Kemudian musuhmu yang paling berat ialah
harta bendamu sendiri.”
Anak
yang menjadi musuh orang tuanya ialah anak yang durhaka. Anak Seperti ini
biasanya tidak mau mendengarkan nasihat orang tuanya. Mungkin ia diam tatkala
diberi nasihat, tetapi nasihat itu masuk dan telinga kiri dan keluar dan
telinga kanan, tidak ada bekasnya. Ia berani melawan orang tuanya,
menyakitinya, bahkan membunuhnya. Dalam surat al-Taghabun ayat 14- 15 Allah
berfirman:
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
cÎ)
ô`ÏB
öNä3Å_ºurør&
öNà2Ï»s9÷rr&ur
#xrßtã
öNà6©9
öNèdrâx÷n$$sù
4
bÎ)ur
(#qàÿ÷ès?
(#qßsxÿóÁs?ur
(#rãÏÿøós?ur
cÎ*sù
©!$#
Öqàÿxî
íOÏm§
ÇÊÍÈ !$yJ¯RÎ)
öNä3ä9ºuqøBr&
ö/ä.ß»s9÷rr&ur
×puZ÷GÏù
4
ª!$#ur
ÿ¼çnyYÏã
íô_r&
ÒOÏàtã
ÇÊÎÈ
“(14)Hai
orang-orang mukmin, Sesungguhnya di
antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi
serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (15)Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu),
dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Saat
memulai pendidikan agama rumah tangga, bila kita bertahan pada perlunya objek
(peserta didik) dalam mendidik, maka pendidikan anak mestinya dimulai tatkala
anak sudah ada. Anak itulah yang menjadi objek pendidikan tersebut. Akan
tetapi, dalam Islam ternyata pendidikan anak harus dimulai jauh sebelum
kelahirannya.
B.
Mainan Anak-anak
Bermain
adalah keinginan anak secara alamiah. Mainan berpengaruh terhadap pertumbuhan
anak. Kadang-kadang anak-anak lebih mementingkan bermain daripada makan dan
minum. Dalam ilmu jiwa, teori tentang mainan ini mendapat perhatian yang cukup
luas dan dalam. Ada jenis mainan yang dapat meningkatkan perkembangan intelek
(kognitif), ada mainan untuk pembinaan psikomotor, mungkin ada juga mainan yang
bermanfaat bagi pembinaan afektif anak. Sampai dewasa pun anak-anak senang
bermain; yang berubah ialah jenis mainan yang disenanginya.
Fahmi melaporkan (1979:142) bahwa
orang-orang Islam dalam sejarah telah membedakan bermain dengan belajar. Mereka
hanya membolehkan anak-anak bermain sesudah selesai belajar. Pandangan ini
berbeda dan pandangan modern yang menyatukan bermain dengan belajar, yaitu
belajar dalam bentuk permainan. Al-Ghazali
(yang dikutip oleh Fahmi, 1979:142) mengatakan bahwa sesungguhnya melarang
anak-anak bermain dan memaksanya belajar terus-menerus dapat mematikan hatinya
dan menghilangkan kecerdasannya serta menyukarkan hidupnya. Al-Abdari mengikuti pendapat Al-Ghazali tentang ini; ia sangat
memperhatikan kebutuhan akan bermain pada anak-anak.
Dalam
pendidikan, orang tua hendaknya memperhatikan pula kebutuhan akan bermain ini.
Kadang-kadang ibu sangat khawatir bila anak-anaknya bermain-main di luar rumah.
Itu benar juga. Akan tetapi, membatasinya terlalu ketat sehingga anak-anak tidak
berkesempatan bermain di luar rumah akan berakibat merugikan bagi perkembangan
anak. Tentang bermain dan beribadah (salat) memang harus ditegaskan; anak-anak
boleh bermain, tetapi mereka harus juga membantu pekerjaan orang tuanya di
rumah dan tidak boleh melalaikan kewajibannya terhadap Allah. Kebiasaan ini
harus dipentingkan supaya, bila ia sudah besar nanti, mereka terbiasa
mendahulukan kewajibannya terhadap Tuhan daripada bermain.
Orang
tua sebaiknya mengenal berbagai alat bermain bagi anak-anak. Yang mudah ialah
bertanya kepada orang yang ahli. Hendaknya di setiap kota ada konsultan yang
membuka praktek (seperti dokter) yang dapat membantu orang tua memberi nasihat
mainan apa yang baik untuk anaknya sesuai dengan umur atau tahap
perkembangannya. Mainan yang dapat meningkatkan kecerdasan sebaiknya
diperhatikan. Secara kejiwaan, mutu suatu mainan terletak pada intensitas
kesibukan anak tatkala ia bermain dengan mainan itu. Mainan seperti ini tidak
selalu mahal. Anak-anak biasanya merusak mainannya. Ini gejala yang baik. Ia
membongkarnya, tetapi tidak mampu memperbaikinya kembali. Itu baik. Karenanya,
belilah mainan yang tidak mahal.
C.
Teman bermain anak
Anak-anak
memerlukan teman bermain. Itu adalah kebutuhan psikologis. Dalam bermain dengan
teman, anak-anak mengembangkan dirinya, misalnya mengembangkan rasa
kemasyarakatannya (sosialisasi), berlatih menjadi pemimpin. Dalam bermain, anak
dapat menemukan jatidirinya. Dengan berteman, terbentuk rasa solidaritas,
pengetahuan tentang lingkungan bertambah, dan lain-lain. Jadi, berteman berarti
melakukan hal yang positif. Jadi, berteman itu perlu. Inilah bagian positif dan
kegiatan berteman.
Berteman
juga memiliki sisi yang negatif. Pengaruh yang buruk diperoleh juga dari
berteman, selain pengaruh yang baik seperti dikatakan di atas. Keterangan
memberikan petunjuk kepada orang tua agar hati-hati memilihkan teman bermain
bagi anaknya. Tidak gampang memilih teman yang baik bagi anak kita.
Sebagai petunjuk umum ialah:
o Carikan teman yang baik moralnya.
o Carikan teman yang cerdas (IQ-nya
tinggi).
o Carikan teman yang kuat akidahnya.
Sedapat
mungkin teman anak kita bermain memiliki ketiga ciri itu. Yang paling besar
pengaruhya ialah teman yang bermoral bejat. Islam dengan ajaran pendidikannya
membimbing orang tua dan para pendidik untuk mengawasi dan mengamati sepenuhnya
anak-anak mereka, lebih-lebih pada masa usia remaja dan pubertas. Mereka
seharusnya mengetahui dengan siapa anaknya berteman, ke mana mereka pergi, dan
apa tujuan mereka. Kepada anak-anak kita, kita mesti mengingatkan agar mereka
selalu mencari teman yang baik, cerdas, sopan santun, jujur, hemat, rajin
belajar, dan memiliki sifat-sifat luhur lainnya. Inilah terjemahan ayat
al-Quran yang membimbing orang Islam dalam hal memilih teman:
(27)Dan
(ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya
berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama
Rasul". (28)Kecelakaan besarlah bagiku;
kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). (29)Sesungguhnya
Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang
kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.
Al-Quran
surat al-Zukhruf ayat 67 menyatakan:
âäHxÅzF{$#
¥Í´tBöqt
óOßgàÒ÷èt/
CÙ÷èt7Ï9
<rßtã
wÎ)
úüÉ)FßJø9$#
ÇÏÐÈ
“Teman-teman akrab pada han itu
sebagian menjadi musuh terhadap yang lain kecuali orang-orang yang takwa.”
Betapa
besar pengaruh teman tergambar dalam sabda Rasulullah saw. yang artinya:
“Seseorang
itu berdasarkan agama temannya. Oleh karena itu, hendaklah kalian memperhatikan
siapa temannya.” (Lihat Ulwan, I, 1990:116).
Hadis lain
yang dikutip oleh Ulwan (I, 1990:116) ialah sebagai berkut:
“Perumpamaan
teman yang saleh dengan teman yang jahat seperti tukang minyak kesturi dengan tukang
las. Tukang kesturi memberimu yang baik atau kamu membeli darinya, maka kamu
akan mendapat bau yang wangi. Sebaliknya, tukang las adakalanya akan membakar
bajumu, atau setidak-tidaknya kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.”
Hadis yang
diriwayatkan oleh Ibn ‘Asakir adalah sebagai berikut:
“Hindari teman yang jahat karena sesungguhnya kamu akan
dikenal seperti dia.”
D.
Pergaulan Remaja
Pergaulan remaja adalah pergaulan yang
tidak bisa dianggap enteng oleh orang tua karena dalam masa pubertas dan masa
transisinya anak dominan jadi anak yang pembantah, suka jalan-jalan, nongkrong
sama teman sebayanya, disinilah peran orang tua dimaksimalkan karena tanpa
bimbingan dan pengawasan orang tua anak akan salah memilih teman dan menjadi
anak yang tidak bermoral yang akhirnya akan bermuara pada pergaulan bebas, seks
bebas dll.
Salah
satu faktor yang sering mengganggu perkembangan anak dan remaja ialah tidak
dimanfaatkannya waktu luang secara tepat. Sejak permulaan perkembangannya,
anak-anak gemar bermain, bercanda, berekreasi, menikrnati pemandangan yang
tidak ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah gejala kejiwaan yang
normal. Begitu senangnya anak-anak itu bersantai sampai-sampai pada saat
belajar pun mereka sering bermain dengan ternannya, atau membuat suasana
belajar terasa santai.
Itulah
sebabnya orang tua sebaiknya memanfaatkan waktu luang anak-anaknya dengan
mengisinya dengan kegiatan yang bersifat rekreasi atau santai. Libur panjang
ada baiknya diisi dengan mengikuti kegiatan yang bermanfaat, tetapi ada unsur
rekreasinya, seperti berkunjung ke rumah teman di desa, pergi ke gunung, atau
mengikuti pesantren kilat. Adapun libur pendek, seperti han Minggu, cukup diisi
dengan santai di rumah, bergotong-royong membersihkan rumah dan pekarangan,
atau memasak makanan dengan melibatkan seluruh anggota keluarga seperti membuat
rujak atau minuman. Pokoknya, kegiatan di rumah yang ada unsur rekreasi dan
santai di dalamnya.
Yang
harus diperhatikan ialah unsur kewajiban menjaga ibadah dan akhlak jangan
sampai terganggu karena melakukan kegiatan mengisi waktu luang tersebut. Oleh
karena itu, orang tua harus tahu persis dengan siapa anaknya pergi, ke mana,
apa saja acaranya. Sering kali ternyata waktu luang diisi oleh para remaja
dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang negatif.
Islam
tidak memberikan ajaran yang rinci tentang mengisi waktu luang. Islam hanya
memberikan patokan-patokan yang bersifat umum sebagaimana tergambar dalam
dalil-dalil naqli berikut. Pertama, perintah Allah tentang memperhatikan
alam. Ini banyak sekali seperti dalam surat Fathir:44 dan alNahl:36. Kedua,
sabda Rasul agar memanfaatkan masa muda:
“Pergunakanlah
yang lima sebelum datang yang lima: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum
sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, masa mudamu sebelum masa tuamu,
kayamu sebelum datang masa fakirmu.” (Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Sebagian
besar waktu yang digunakan oleh anak-anak kita ialah tinggal di rurnah; tatkala
remaja memang mereka agak banyak berada di luar rumah. Karena anak-anak itu
banyak tinggal di rumah, maka situasi rumah tangga banyak sekali mempengaruhi
mereka. Bila Setiap kali anak membuka matanya yang dilihatnya adalah
pertengkaran, ia akan segera meninggalkan rumah; rumah itu dirasakannya pengap,
sempit dan panas. Ia pergi ke rumah orang lain untuk mencari teman bermain dan
berteduh. Sekiranya teman-ternannya itu kurang baik, hal tersebut akan
mempengaruhi perangai anak itu.
Untuk
memperoleh rumah tangga yang tenteram, Islam mengajarkan suatu tata cara yang
dimulai dan tahap memilih calon suami-istri, cara melamar, memberikan petunjuk
cara berumah tangga yang mencakup tugas suami dan tugas istri.
Cekcok
ayah-ibu tidak sekadar membuat gelisah anak-anak; cekcok itu juga menimbulkan
dampak psikologis yang buruk pada anak-anak. Mereka merasa kurang aman karena
pelindungnya ternyata tidak akur. Mereka mengidolakan ayah-ibunya, tetapi
ternyata idola itu tidak harmonis. Mereka ingin belajar pada ayah-ibunya,
tetapi apa yang akan didapat bila ayah-ibu itu cekcok melulu. Mereka malu pada
teman-temannya bila ketahuan ayah-ibunya terlalu banyak “berdiskusi. Rasa
rendah diri, rasa malu, rasa tidak berharga, dan lain-lain dapat saja
menghinggapi anak tersebut.
Kadang-kadang
cekcok berakhir dengan perceraian. Al-Quran memang mengatur hal ini tetapi
bukan berarti menganjurkan perceraian. Perceraian itu “menggegerkan”‘arasy
Tuhan. Ia merupakan pebuatan yang boleh, tetapi paling dibenci Tuhan. Anak-anak
pun amat tidak menyenangi ayah-ibunya bercerai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Agama dalam rumah tangga
sangat-sangatlah penting bagi perkembangan akhlak manusia karena orang tualah
yang pertama kali menggoreskan warna pada anak, orang tua adalah guru yang
pertama dan pertama bagi anak-anaknya.
B. Saran
Saran kami sebagai mahasiswa yang berlandaskan Agama, bagi
tema-teman mahasiswa tanamkanlah dalam diri anda ketika anda menjadi orang tua
kelak anda akan mendidika anak anda dengan penanaman agama sejak dini dan bagi
para dosen yang sudah terlanjur memiliki anak dan tidak sempat mendidik anak
dari kecil maka anda belum terlambat, lakukanlah apa yang seharusnya dilakukan
agar kita bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak kita di
dunia dan akhirat.
Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat bagi teman-teman
mahasiswa/ para calon orang tua besrta dosen.
DAFTAR PUSTAKA
·
Amin, Ahmad,. Ilmu Akhlak, Bulan Bintang,
Jakarta. 1968.
·
Bakar Atjeh, Abu. Mutiara Akhlak 1, Bulan
Bintang, Jakarta.1968
·
Dr. H. Syamsu Yusuf LN, M.Pd.. Psikologi Belajar Agama. Pustaka
Bani Qurais. Bandung. 2003.
·
http://wanty-katsu.blogspot.com/2011/05/makalah-pendidikan-agama-dalam-rumah_21.html