Sabtu, 26 November 2011
Mengapa Murid Sulit Mengungkapkan Pendapat?
Suatu hari, Ibu guru memberikan penjelasan beberapa masalah aktual di depan kelas. Setelah selesai, beliau berkata, “Nah, sekarang bagaimana menurut kalian mengenai masalah ini?” Lima menit pun berlalu dan tidak ada murid yang memberikan pendapat atau tanggapan.
Kebanyakan guru akan kebingungan menghadapi situasi ini. Apakah semua murid tidak memperhatikan atau mereka memang tidak bisa menjawab. Dalam psikologi pendidikan, terutama dalam strategi pengajaran, ada kalanya murid memang mengalami kesulitan dalam menggunakan kemampuan bahasa ekspresif.
Bahasa ekspresif terkait dengan bagaimana seseorang dapat mengutarakan hasil pemikiran lewat komunikasi dengan orang lain. Tidak sedikit yang mengalami kesulitan dalam memberikan tanggapan atau mengekspresikan pendapat kepada orang lain.
Menurut Boyles dan Contadino, siswa yang mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pendapat dapat dikarenakan beberapa faktor, seperti:
Malu, menarik diri, dan punya masalah dalam berinteraksi sosial
Menunda jawaban
Mengalami kesulitan mengolah kata yang tepat
Pemikiran yang ruwet dan tidak tertata mengakibatkan sulit dipahami
Melewatkan beberapa pemahaman yang diberikan guru (orang lain)
Strategi pengajaran yang dapat digunakan untuk mengatasi hal ini dijelaskan oleh John W. Santrok dalam bukunya Educational Psychology, yaitu:
Memberi anak kesempatan untuk merespon dalam waktu yang cukup
Anak mungkin merasa kesulitan mengutarakan pendapat secara lisan, maka, kita dapat mengatasi dengan meminta mereka menuliskannya di atas kertas
Memberi anak clue atau bantuan kata agar anak lebih mudah dalam mengolah diksi yang tepat
Memberi anak kesempatan untuk tahu pertanyaan yang akan diajukan agar dapat mempersiapkan diri untuk menjawab
Selasa, 22 November 2011
MAKALAH SOSIOLOGI KEMASYARAKATAN
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat
ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000)
tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu
komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per
kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin
menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102
(1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic
Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan
ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data
yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya
saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia
hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan
di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan
mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan
bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena
beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke-
21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan
perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi
berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia
terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa
masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah
rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan
formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai
keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang
rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di
Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia
ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program
(DP).
B.
Rumusan Masalah
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain
adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal
tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun
permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
1.
Rendahnya sarana fisik,
2.
Rendahnya kualitas guru,
3.
Rendahnya kesejahteraan guru,
4.
Rendahnya prestasi siswa,
5.
Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
6.
Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
7.
Mahalnya biaya pendidikan.
8.
Kekerasan dalam dunia pendidikan
9.
Permasalahan tentang perilaku remaja.
C. Tujuan penulisan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di
Indonesia.
2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di
Indonesia saat ini.
3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi
penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
4. Mendeskripsikan solusi yang dapat
diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia
5. Mendeskripsikan mengenai perilaku
remaja saat ini.
BAB II
DASAR TEORI
PERMASALAHAN DIDALAM DAN DILUAR INSTITUSI PENDIDIKAN
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahan pendidikan
di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan
itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik),
yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan
mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional
Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk
generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian
pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan
tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar
supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan
pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani,
dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di
dalam proses pendidikan ini, keluhuran
martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar
tercapai suatu hasil pendidikan yang baik.
Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting,
maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia
sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk
“ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan
tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa
yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak
mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah
proses pendidikan itu tentu saja tidak
sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan
jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia
menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan
dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan
sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar
lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya
tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
BAB III
PEMBAHASAN DAN ALTERNATIF MASALAH
PERMASALAHAN DIDALAM DAN DILUAR INSTITUSI PENDIDIKAN
A.
Permasalahan didalam institusi
pendidikan
1.
Rendahnya sarana fisik
Sarana dan prasarana sekolah, merupakan
salah satu kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan
keuangan yang masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN yang masih tinggi
serta faktor-faktor lain, telah menyebabkan kondisi sekolah masih jauh dari
memadai. Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun
kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian
proses belajar mengajar yang belum maksimal, merupakan beberapa kendala nyata
yang masih kita hadapi.
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD
terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258
ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi
baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau
23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka
kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada
umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan
persentase yang tidak sama
Solusi untuk permasalahan prasarana pendidikan antara lain :
-
Perlunya kerjasama pemerintah dan masyarakat menjaga,
melindungi, dan memperbaiki sarana pendidikan.
-
Masyarakat membantu memenuhi kekurangan sarana yang
diperlukan sekolah.
2.
Rendahnya kualitas guru.
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan
dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan
dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri
Salah satu bukti rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia terlihat dari laporan International Education Achievement
(IEA). Menurut IEA, kemampuan membaca untuk tingkat SD siswa Indonesia berada
dalam urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara kemampuan matematika
siswa SLTP Indonesia berada dalam urutan ke-39 dari 42 negara. Adapun kemampuan
IPA, Indonesia masuk dalam urutan ke-40 dari 42 negara Jika dibandingkan dengan
negara-negara di ASEAN, ternyata posisi Indonesia tetap berada pada urutan
paling bawah. Selanjutnya Peringkat indeks pengembangan manusia (Human
Development Index) masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117
negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005
peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. sebagai konsekuensi
logis dari indikator-indikator di atas adalah penguasaan terhadap IPTEK di mana
kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan
Thailand. (H. Isjoni, 2006:19-20).
Berkaitan dengan fenomena di atas,
setidak tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan
kita saat ini, yaitu: issu seputar masalah guru, kebijakan pemerintah sebagai
penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah dan issu sarana dan prasarana
belajar mengajar.
1.
ISSU seputar masalah guru
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru
merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian
terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal
maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas
pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang
berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah
menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di
Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi
fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu
mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai
penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai
orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara
global.
Dalam konteks sosial budaya MBOJO misalnya, kata guru sering
dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “dou ma di to’a” (menjadi
panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya
sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang
mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan
dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah
kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga,
masalah distribusi guru dan masaah kesejahteraan guru.
2. Masalah kualitas guru
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat
memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD kita
saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada
akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi
masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran
yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang
dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
Banyak guru yang belum memiliki persyaratan kualifikasi.
Guru TK sebanyak 137.069 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai
dengan kualifikasi pendidikan baru 12.929 orang (9,43%). Guru SD sebanyak
1.234.927 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan
kualifikasi pendidikan baru 625.710 orang (50,67%). Guru SMP sebanyak 466.748
orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi
pendidikan baru 299.105 orang (64,08%). Guru SMA sebanyak 377.673 orang, yang
sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru
238.028 orang (63,02%).
Persentase guru layak mengajar terhadap guru menurut status
sekolah di NTB SMP/ junior secondary school (JSS) tahun: 2006/2007.
No
|
Guru
|
Jumlah/total
|
%
|
||||||
Negeri
|
Layak
|
%
|
Swasta
|
Layak
|
%
|
Guru
|
Layak
|
||
1
|
10,736
|
8,105
|
75.49
|
1,374
|
1,066
|
77.58
|
12,110
|
9,171
|
75.73
|
3.
Jumlah guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang,
apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah
murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih
kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih
dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar
dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih
dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang
maksimal.
Di NTB perkembangan jumlah guru Negeri dan swasta dari tahun
2003/2004 s/d tahun 2005/2006 yaitu :
No
|
Tahun
|
Status sekolah
|
Jumlah
|
|
Negeri
|
Swasta
|
|||
1
|
2003/2004
|
7,295
|
673
|
7,968
|
2
|
2004/2005
|
8,612
|
884
|
9,496
|
3
|
2005/2006
|
9,067
|
1,174
|
10,241
|
Namun menurut Supriadi dalam bukunya Mengangkat Citra Guru
dan Martabat Guru, ia mengatakan bahwa masalah guru antara lain:
- Latar Belakang Guru
Latar belakang pendidikan guru sewaktu SLTA sebagian besar
bersal dri SMA (71,7%) Namun sayang tidak disebutkan latar belakang sekolahnya.
Padahal ini penting untuk mengetahui kecenderungan sikap siswa terhadap profesi
guru.
Fakta di sekolah yang dianggap faforit pada tingkat Kabupaten atau Kota Besar sebagian kecil atau bahkan jarang siswa menduduki rangking atas mempunyai keinginan menjadi guru. Mereka lebih suka memilih profesi yang mempunyai prospek secara ekonomis lebih menjanjikan.
Fakta di sekolah yang dianggap faforit pada tingkat Kabupaten atau Kota Besar sebagian kecil atau bahkan jarang siswa menduduki rangking atas mempunyai keinginan menjadi guru. Mereka lebih suka memilih profesi yang mempunyai prospek secara ekonomis lebih menjanjikan.
Pada lapisan sekolah di bawahnya, terutama untuk sekolah
yang berada di pinggiran, jumlah siswa mendaftar pada Fakultas Keguruan agak
lumayan besar. Tetapi hal tersebut lebih menyangkut pada keterpaksaan karena
kondisi ekonomi orang tua. Dengan demikian pilihan profesi guru bukan merupakan
top priority. ( Dedi Supriadi: 1999)
2.
Banyak Guru Tidak Layak Mengajar
Data Pusat Informatika Balitbang Dikbud 1996/1997 ada 3,72%
guru SLTA berpendidikan D2, dan menurut statistik persekolahan 1995/1996 guru
yang tidak memenuhi kualifikasi minimal pada tingkat SLTA 26%.
Jumlah guru yang tidak layak mengajar pada SMA ada 75.684
orang. Sedangkan guru yang mengajar tidak sesuai dengan keahliannya ada 15%
dari seluruh guru dari tingkat SD sampai dengan SLTA yang berjumlah 2,6 juta
guru (Kompas, 9-12-2005). Guru masih jauh dari nilai-nilai profesionalisme.
Banyak pergurruan tinggi pendidikan menyelenggarakan program sarjana setengah
matang, dengan cara perkuliahan yang minim dan jaminan lulus. Banyak guru mismatch,
mengajar tidak sesuai dengan keahlian. Hal ini mengindikasikan bahwa sembarang
orang bisa jadi guru, dan jelas tidak tidak mempunyai kompetensi kompetensi
untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya, sehingga dapat
menurunkan kualitas pembelajaran.
3.
Guru Berprestasi Minim
Penghargaan
DP3 berfungsi untuk persyaratan kenaikan pangkat
pegawai.Sistem penilaian DP3 tidak lagi bisa mencerminkan kinerja guru yang
sesungguhnya. Guru tidak perlu bekerja keras agar DP3-nya mendapat nilai baik,
karena kinerja guru seperti apapun, Kepala Sekolah tidak akan berani memberikan
penilaian yang obyektif. Sehingga bisa saja terjadi guru yang sering membolos
kenaikkan pangkatnya lancar dibanding guru yang rajin. Kasus ini terjadi karena
guru yang malas, rajin mengurus kenaikan pangkatnya, sedangkan guru yang rajin
malah sebaliknya.
Hak-hak guru berprestasi belum bisa diberikan oleh
pemerintah, semua guru mendapat perlakuan yang sama. Hal ini menurunkan
motivasi berprestasi dan semangat profesionalisme.
4.
Guru Semakin Terbelakang
Kondisi kesejahterann guru yang memprihatinkan
,mengisyaratkan perlunya perubahan secepatnya sistem penggajian guru berbeda
dengan pegawai. Dampak dari sistem penggajian sekarang guru tidak mampu
mengalokasikan gajinya untuk membeli buku apalagi melakukan saving. Dapatlah
dimaklumi kalau referensi bacaan guru kebayakan berupa LKS atau buku-buku untuk
siswa dari penerbit sebagai kopensasi atas dipakainya buku tersebut atas
siswanya. Maka tidaklah mengherankan bila guru bukannya semakin maju tetapi
malah berjalan di tempat.
Solusi untuk permasalahan ini
sebagai berikut:
1.
Pendidikan dan Rekruitmen Guru
Untuk mendapat input guru yang berkualitas dalam rekruitmen
perlu di SMA-SMA ada sosialisasi tentang keguruan dan lulusan yang berprestasi
diarahkan untuk memasuki jurusan perguruan. Kecuali itu keberadaan jumlahnya perlu dibatasi, Perguruan tinggi
yang mencetak guru harus perguruan tinggi yang berkualitas.
2.
Pembinaan dan Karier Guru
Fungsinya sebagai sarana pembinaan guru tidak berjalan
dengan baik karena budaya yang dibangun sejak awal tidak mencerminkan
performance guru. Oleh sebab itu dalam penilaian perlu didengar suara siswa,
sebab guru sebagai pemberi jasa berupaya untuk memuaskan pelanggan (siswa).
Pemberian reward untuk guru berprestasi perlu dilaksanakan.
3.
Rendahnya kesejahteraan guru,
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU
Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan.
Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai,
antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan
profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan
kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di
lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf
ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403
PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan
dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
Solusi :
Jalan yang dapat dilakukana untuk meningkatkan
Profesionalisme guru antara lain:
·
Gaji yang memadai. Perlu ditata ulang sistem penggajian guru
agar gaji yang diterimanya setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan hidup diri
dan keluarganya dan pendidikan putra-putrinya. Dengan penghasilan yang
mencukupi, tidak perlu guru bersusah payah untuk mencari nafkah tambahan di
luar jam kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa
harus mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta khawatirakan pendidikan
putra-putrinya. Guru mempunyai waktu yang cukup untukmempersiapkan diri tampil
prima di depan kelas. Jika mungkin, seorang guru dapat meningkatkan profesinya
dengan menulis buku materi pelajaran yang dapat dipergunakan diri sendiri untuk
mengajar dan membantu guru-guru lain yang belum mencapai tingkatnya. Hal ini dapat
lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial
guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya. Jika anak
didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa akan meningkat dan
pendidikan pasti akan lebih berhasil.
·
Kurangi beban guru dari tugas-tugas
administrasi yang sangat menyita waktu. Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang
selama ini harus dikerjakan seorang guru, dibuat oleh suatu tim di Diknas atau
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah
dan bersifat fleksibel (bukan harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru
melalui sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar
dalam mengajar dan membantu guru-guru prmula untuk mengajar tanpa membebani
tugas-tugas rutin guru.
·
Pelatihan dan sarana. Salah satu usaha
untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran
melalui pelatihan-pelatihan. Beri kesempatan guru untuk mengikuti
pelatihan-pelatihan tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan kesempatan
agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru
untuk memperdalam pengetahuannya.
4.
Rendahnya prestasi siswa,
Dengan keadaan
yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal
pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study
(TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44
negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam
hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal
prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme
(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara
serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development
Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja,
posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala
internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA
(Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di
Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong),
74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak
Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan
mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil
studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999
(IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa
SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk
Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77
universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di
Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Solusinya:
-
Perlunya guru-guru yang profesional dalam mengajar.
-
Hentikan formalitas dalam pengajaran.
-
Buang jauh ritualisme dalam pengajaran.
-
Buat suasana pengajaran senyaman mungkin.
-
Menggunakan metode-metode yang tepat dalam mengajar.
-
gaya berhubungan Guru dengan siswa yang menyenangkan.
Lihat beberapa contoh berikut
ini.
1.
Guru yang tidak pernah membeda-bedakan siswa mana yang
lebih unggul dan tidak akan memberikan kesan kepada siswa bahwa Guru tersebut
berlaku adil. Ini salah satu gaya berhubungan Guru dengan siswanya supaya
siswanya ketika belajar tidak merasa dikotak-kotakkan. Dengan begitu guru
dengan gaya berhubungan semacam ini akan menjadi pengajar yang banyak
mendapatkan perhatian dari siswa.
2.
Guru yang suka memberikan penghargaan setiap kali
siswanya melakukan suatu hal yang baik dan menghasilkan prdikat memuaskan.
Misalnya Guru yang memberikan permen atau minuman secara cuma-cuma kepada
siswanya ketika semua siswa di kelas yang dia ajar tidak ada yang remidi. Gaya
berhubungan semacan ini menjadikan Guru dan siswa saling menghargai. Guru
menghargai jerih payah siswanya dengan memberikan hadiah karena hasil belajar
yang memuaskan. Begitu pula sebaliknya siswa akan belajar giat setiap kali ada
tes dengan pertimbangan hadiah kecil namun berarti dari Guru mereka menjadi
penghargaan yanng luar biasa.
3.
Guru yang selalu menemani siswanya ketika ada
pertandingan. Biasanya hal semacam ini dilakukan oleh wali kelas. Gaya
berhubungan Guru dengan siswa yang satu ini dapat mempengaruhi siswa secara
mental. Karena siswa yang berkompetisi merasa mendapatkan dukungan yang lebih.
Sekalipun siswanya kalah dalam kompetisi tersebut, rasa kecewa yang dibawa
tidak begitu membebani.
4.
Guru yang selalu
memasukkan permainan disela-sela mengajar. Gaya berhubungan semacam ini akan
membantu siswa mengatasi kejenuhan selama kegiatan belajar mengajar. Dengan
begitu Guru akan lebih dapat mengontrol siswa, begitu pula dengan siswa, ketika
mengetahui Guru yang berada dihadapan mereka sik dan menyenangkan mereka tidak
akan sungkan untuk mengutarakan keinginan mereka ketika kegiatan belajar
mengajar berlangsung.
5.
Rendahnya kesempatan pemerataan
pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada
tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan
Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka
Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3
juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi
Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara
itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan
dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan
tersebut.
Persoalan bagaimana sistem pendidikan
dapat menyediakn kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara
untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi
pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah ini timbul
apabila masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat
ditampung didalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas
yang tersedia.
a. Masalah pemerataan pendidikan dipengaruhi oleh
:
1. Perbedaan tingkat sosial ekonomi
masyarakat.
2. Perbedaan fasilitas pendidikan.
3. Sebaran sekolah tidak merata.
4. Nilai masuk sebuah sekolah dengan
standart tinggi.
5. Rayonisasi.
b. Pemecahan
Masalah Pemerataan Pendidikan :
1. Cara konvensional,
dengan :
a. Membangun sekolah
b. Menggunakan doubleshift (masuk pagi
dan sore).
2. Cara inovatif, dengan :
a. Sistem pamong
b. Kejar paket A dan B
c. SD kecil di daerah terpencil
d. Guru kunjung/Dosen kunjung
e. SMP terbuka
f. Universitas terbuka
6.
Rendahnya relevansi pendidikan dengan
kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan
angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama
pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat
pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas
1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
Solusi
masalah ini yaitu;
·
perlunya pelatihan
keterampilan yang siap diberdayakan.
·
pemerintah harus
menambah lapangan kerja.
7. Mahalnya biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal.
Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan
SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan
ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta
sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya
unsur pengusaha.
Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan
Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan,
karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah
orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan
lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi
Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS
adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri
berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi
favorit.
Privatisasi atau
semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005
hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk
membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,
seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan.
Seperti halnya
perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ),
Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi
pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan
begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada
dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi
pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama
oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan
(BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh
sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat
tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu
harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di
atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi
sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang
ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti
rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan–
berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang
efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi
kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan
diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang
akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi
teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas
guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
8. Kekerasan dalam
dunia pendidikan
Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun,
apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara
edukatif. Namun tak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi
tindak kekerasan. Akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV
menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang
dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang guru oleh raga menghukum lari
seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tapi karena fisiknya
lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama,
seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari
keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu,
terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat
acara camping. Selain tersebut di atas, banyak lagi kasus kekerasan
pendidikan masih melembari wajah pendidikan kita.
Dalam melihat fenomena ini, beberapa analisa bisa diajukan: pertama,
kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai
dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang
memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi
pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran
antarpelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu,
kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk
pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah. Misalnya, siswa mbolos sekolah dan
pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya
sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya
mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif
menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Ketiga,
kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan
media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan
aksi-aksi kekerasan. Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari
perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga
meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Dan, kelima,
kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.
Kasus perilaku kekerasan dalam pendidikan juga bervariasi: pertama,
kategori ringan, langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan kekerasan
susulan atau aksi balas dendam oleh si korban. Untuk kekerasan dalam
klasifikasi ini perlu dilihat terlebih dahulu, apakah kasusnya selesai secara
intern di sekolah dan tidak diekspos oleh media massa ataukah tidak selesai dan
diekspos oleh media massa. Kedua, kategori sedang namun tetap
diselesaikan oleh pihak sekolah dengan bantuan aparat, dan ketiga,
kategori berat yang terjadi di luar sekolah dan mengarah pada tindak kriminal
serta ditangani oleh aparat kepolisian atau pengadilan. Umumnya kasus perilaku
kekerasan kategori ringan dan sedang ini terjadi di lingkup sekolah, masih
berada dalam jam sekolah/ kuliah dan membawa atribut sekolah. Lingkup inilah
yang akan menjadi sosotan dalam penelitian ini.
Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif-analitis ini
bertujuan membuat tipologi perilaku kekerasan dalam pendidikan di Indonesia,
terutama pasca reformasi sembari mencari kondisi apa saja yang melatarbelakangi
munculnya kekerasan dalam pendidikan tersebut. Sebagai tanggung jawab moral,
penelitian ini juga mengusulkan kebijakan publik guna membenahi pendidikan
kondisi pendidikan yang lebih humanis, sehingga mampu mencegah berlanjutnya
kekerasan dalam pendidikan tersebut.
Kekerasan dalam Pendidikan
Untuk memotret persoalan ini, perlu ditelaah terlebih dahulu
kondisi pendidikan dewasa ini, yakni kondisi internal dan kondisi eksternal.
Kondisi internal merupakan faktor internal yang berpengaruh langsung bagi
perilaku para pelajar/ mahasiswa beserta pendidiknya, termasuk perilaku
kekerasan. Sedangkan kondisi eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang
merupakan faktor tidak langsung bagi timbulnya potensi kekerasan dalam
pendidikan.
Merujuk kepada kondisi internal, sejauh ini dijumpai
kesenjangan (discrepancy, gap) yang cukup dalam antara upaya pemerintah
dalam memajukan pendidikan (idealitas) dengan kondisi riil yang dialami di
lapangan (realitas). Diakui bahwa pemerintah telah berupaya memperhatikan
masalah pendidikan nasional sejak awal kemerdekaan, era Orde Baru hingga saat
ini. Pada awal Orde Baru, yakni masa Repelita I (1969-1974), jumlah realisasi
pengeluaran pembangunan untuk sektor pendidikan dan kebudayaan adalah 77,7
miliar rupiah atau 8,2 % dari total biaya seluruh sektor pembangunan yang
mencapai 944,6 miliar rupiah. Sedangkan jumlah realisasi bantuan proyek untuk
sektor pendidikan dan kebudayaan mencapai 6,1 miliar rupiah atau hanya 2,1 % dari
total bantuan proyek untuk seluruh sektor pembangunan nasional yang mencapai
288,2 miliar rupiah.
Hingga akhir Orde Baru (1998), Angka Partisipasi Kasar (APK)
SD termasuk MI telah meningkat dari 111,9 % pada tahun 1995/1996 menjadi 112,4
% pada 1996/1997. Di tingkat SLTP, pada tahun 1996/1997 telah dibangun sebanyak
392 unit gedung baru (UGB) dan 6,5 ribu ruang kelas baru (RKB) yang seluruhnya
setara dengan 8,9 RKB. Upaya tersebut telah berhasil meningkatkan daya tampung
murid baru SLTP dari sekitar 2,6 juta orang pada tahun 1995/1996 menjadi 2,8
juta orang pada 1996/1997. Jumlah murid seluruhnya juga meningkat yaitu dari
6,9 juta pada 1995/1996 menjadi 7,6 juta pada 1996/1997. Dengan demikian APK
sekolah lanjutan SLTP termasuk MTs naik dari 60,8 % pada tahun 1995/1996
menjadi 68,7 % pada tahun 1996/1997 yang berarti telah melampaui sasaran tahun
ketiga Repelita VI, yaitu 60,2 %.
Di tingkat SLTA, pada 1995/1996 memiliki murid sebanyak 2,6
juta lalu meningkat pada 1996/1997 menjadi 2,8 juta. Sementara untuk SMK
meningkat dari 1,7 juta menjadi 1,8 juta murid. Dengan demikian, APK SLTA
meningkat dari 32,8 % pada tahun 1995/1996 menjadi 34,4 pada tahun 1996/1997.
Apabila murid MA diperhitungkan, maka APK SLTA pada tahun ketiga Repelita
tersebut mencapai 38,0 % yang berarti telah melampaui sasaran ketiga Repelita
VI, yaitu 35,4 %.
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), jumlah mahasiswa meningkat
dari 2,4 juta pada 1995/1996 menjadi sekitar 2,5 juta orang pada 1996/1997.
Namun, karena kenaikan jumlah penduduk usia 19-24 tahun, APK PT pada tahun
ketiga Repelita VI masih tetap seperti tahun sebelumnya, yaitu 10,6 %. Apabila
jumlah mahasiswa PTA diperhitungkan, maka APK PT pada tahun 1996/1997 adalah
11,8 % yang berarti telah mencapai sasaran tahun ketiga Repelita VI yang juga
sebesar 11,8 %.
Pun demikian, kondisi pendidikan kita saat ini sesungguhnya
memprihatinkan, terutama sekali di lingkungan SD. Di Banjarmasin, ribuan gedung
SD rusak berat. Di Banjarnegara, dari 722 SD yang beroperasi, sebanyak 400
bangunan di antaranya kondisinya rusak parah, sementara 4 bangunan SD sudah
roboh. Sebanyak 323 SD/MI di Semarang rusak parah, dan akibat kekurangan murid,
470 SD Inpres se-Jateng di tutup. Di Yogyakarta, 30 % gedung SD rusak, sedang
tiap kecamatan di Sleman kekurangan 30 guru. Kondisi demikian dialami oleh
SD/MI di beberapa daerah lain.
Selain aspek bangunan, kondisi guru dan murid juga belum
menggembirakan. 50 % guru SD yang ada masih di bawah standar, sejumlah 99.033
guru SD di bawah D-2. Alokasi dana yang dianggarkan oleh pemerintah teramat
kecil bila dibandingkan dengan kondisi yang ada, apalagi bila ditilik
perbandingannya dengan negara lain. Angka drop out juga tinggi. Tercatat
sebanyak 15.000 lulusan SD-SLTP di Kabupaten Grobogan tahun pelajaran 2002/2003
diperkirakan tak bersekolah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, di
antaranya disebabkan karena pernikahan dini. Sebab ekonomi juga berpengaruh.
Sedikitnya 275 anak di Sleman, Yogyakarta, pada tahun 2001 putus sekolah karena
kesulitan biaya. Sementara itu, sejumlah 839.645 anak usia sekolah di Jateng
terlantar, tidak bisa meneruskan sekolah karena miskin.
Kondisi kesehatan anak sekolah juga memilukan. Di Sidoarjo,
berdasarkan penelitian Diskes terhadap siswa-siswi SD/MI dengan sampel
berjumlah 350 SD/MI, pada 1993 sebanyak 52,3 % siswa menderita kekurangan
yodium, lalu meningkat drastis pada 2002 menjadi 75,6 %. Menurut ahli asma
anak, dr Noenoeng Raharjoe, berdasarkan survei dari Aceh hingga Manado,
ditemukan fakta bahwa satu dari enam anak SD menderita penyakit asma. Secara
umum, di kebanyakan sekolah juga rawan terjangkit Demam Berdarah. Bahkan
terjadi puluhan siswa SD Demangan 01 Kota, Madiun, mengalami keracunan setelah
minum susu PMTAS (Program Makanan Tambahan Anak Sekolah). Selain itu, di Kulon
Progo, Yogyakarta, 54 SMUN 1 Temon yang diduga terjangkit Hepatitis A akan
dibekali kaporit. Sementara di Pacitan, dijumpai 50 % pelajar menderita anemia.
Di lingkungan sekolah menengah, baik SLTP maupun SMU juga
mengalami nasib tak jauh beda. Di Yogyakarta, 28 % lulusan SLTA menganggur. SMU
Negeri maupun Swasta minus siswa. Di Magelang, lulusan SLTP yang melanjutkan ke
SMU maupun SMK hanya 51 %. Jumlah pendaftar Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di
UNS Solo tahun ini juga menurun.
Sedangkan kondisi eksternal terutama tampak dalam kehidupan
sosial dan budaya masyarakat, di mana pelaku pendidikan berada di dalamnya.
Sejauh ini masalah narkoba, pornografi, miras, dan pergaulan bebas, serta
tindak kriminal, merupakan masalah sosio-kultural yang sebagian ditemukan
melibatkan pelaku yang terkait dengan simbol dan citra pendidikan.
Selama empat tahun terakhir, angka kejahatan narkoba di
Indonesia naik signifikan 90 %, dari 958 kasus pada 1998 menjadi 3.617 kasus
pada 2001. Penggunanya bukan lagi masyarakat umum, namun juga kalangan mahasiswa
dan pelajar. Peredaran narkoba ini bahkan telah merambah ke kalangan pelajar
SLTP dan SD. Di Bogor, 16 siswa SLTP dipecat karena terbukti mengkonsumsi
narkoba. Sementara itu di Yogya ditemukan indikasi bahwa pemakaian narkotika
ini sudah masuk ke SD.
Hal yang sama juga terjadi pada tayangan pornografi.
Pornografi merupakan tantangan besar bagi masyarakat dan pendidikan. Sebab,
bila pornografi dibiarkan, akan merusak moral rakyat, membuka peluang
perkosaan, dan pernikahan dini. Masalah pergaulan bebas juga menjadi masalah
krusial dalam pendidikan kita, terutama bagi pelajar dan mahasiswa. Menurut
Romli Atmasasmita, menjadi preman bukanlah karena turunan orang tua, melainkan
melalui proses pergaulan ini. Beberapa penelitian mengenai pergaulan bebas ini
telah diungkap secara langsung, di antaranya adalah penelitian tentang
virginitas para mahasiswa Yogyakarta yang dipublikasikan pada Agustus 2002 yang
lalu, terlepas dari polemik dan kontroversi yang muncul mengenai penelitian
ini. Paling tidak, penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi
pergeseran pola pergaulan di kalangan pelajar dan mahasiswa, ke arah yang lebih
bebas. Kekerasan dalam pendidikan bisa dipengaruhi secara tidak langsung oleh
kondisi eksternal ini.
Tipologi Kekerasan dalam Pendidikan
Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah
kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik secara
terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang bersifat
menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang disertai
penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator
kekerasan: pertama¸ kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat
atau diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa,
atau yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah kasus pengeroyokan 4
siswa SMKI terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang
dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang. Kedua,
kekerasan tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara
langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang
menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap
sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan
kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi
mahasiswa menolak SK Rektor UGM Yogyakarta tentang Biaya Operasional Pendidikan
atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan
sweeping KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa mengancam akan
melakukan demo besar-besaran.
Ketiga, kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang
dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan
atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal,
di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya
kasus pembobolan di Universitas Jember, pencabulan terhadap siswa SD atau SLTP,
atau penembakan guru SD hingga tewas. Keempat, kekerasan defensif (defensive)
yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade
aparat untuk menahan aksi demo lainnya. Sengketa tanah warga dengan pihak
sekolah, merupakan contoh yang relevan.
Dari sisi tingkat (level) kekerasan, intensitas suatu
kekerasan bisa meningkat dari kekerasan ringan atau potensi menjadi kekerasan
tingkat sedang bahkan dapat berlanjut pada kekerasan tingkat berat, berupa
tindak kriminal dalam pendidikan. Kekerasan disebut dalam bentuk potensi, bilamana
memiliki indikator sebagai berikut: bersifat tetutup, berupa unjuk rasa untuk
menyampaikan aspirasi, pelecehan nama baik seseorang, dan ancaman atau
intimidasi. Bila kekerasan tertutup berubah menjadi konflik terbuka, unjuk rasa
berubah menjadi bentrok, ancaman berubah menjadi tindakan nyata, dan kekerasan
defensif menjadi ofensif, maka saat itu juga potensi berubah menjadi kekerasan.
Meski demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu
terjadi secara berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang),
lalu tindak kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai
pada potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang terjadi kekerasan
berbentuk tindak kriminal, tanpa didahului oleh potensi maupun kekerasan sebelumnya.
Akan tetapi penelitian ini ditemukan bahwa pada kasus tertentu kekerasan ringan
berlanjut menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak kriminal.
Dari 6 surat kabar yakni Bernas, Kedaulatan Rakyat, Jawa
Pos, Republika, Kompas, Suara Merdeka, yang dipilih secara acak (random
sampling), ditemukan sebanyak 71 kasus potensi kekerasan atau tingkat
ringan yang umumnya terjadi karena sebab tertentu yakni: masalah sistem
Penerimaan Siswa Baru (PSB), masalah kenaikan biaya pendidikan, masalah
demokratisasi dan transparansi, penyelenggaraan pendidikan, terutama di
lingkungan kampus, masalah lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara
spontan karena adanya momen tertentu, dan masalah lainnya.
Sedangkan kekerasan dalam kategori sedang, dalam penelitian
ini, ditemukan 93 kasus yang sebagian besar muncul secara langsung tanpa
didahului oleh kekerasan sebelumnya. Kasus ini berupa kekerasan antar pihak
sekolah, kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru terhadap siswa
dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa
terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan masyarakat terhadap siswa.
Adapun kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat)
biasanya berkutat pada pencabulan, penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan.
Siswi SD dan SLTP termasuk yang sering menjadi korban pencabulan yang acap kali
dilakukan oleh pelaku yang sudah dikenal atau dekat. Sedang kasus penculikan
dilakukan karena motif tertentu seperti permintaan uang tebusan. Aksi pencurian
juga mewarnai kekerasan masyarakat kepada pihak sekolah/kampus. Sementara
tindak kriminal berupa pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang
mencapai 200 kasus dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat
fisik permanen dan kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di
kalangan pelajar dan mahasiswa, bentuk tindak kriminal yang sering terjadi
adalah peredaran dan konsumsi narkoba sebagaimana yang terjadi di Sleman dan
Yogyakarta.
Humanisasi Pendidikan
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi
institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang
normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang
positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan merupakan obyek yang dapat
diperlakukan semaunya pendidik, bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia
lengkap dengan harkat kemanusiannya.
Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku
atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah
menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang
menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”,
dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya”, sebagai suatu takdir atau
nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan
penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami
keberadaan dirinya. Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada
pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu
mendekatkan manusia dengan lingkungannya.
Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih
merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita
masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi
pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi
yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan
manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.
Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model
pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active
learning, quantum learning, quantum teaching, dan the
accelerated learning.
Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah
yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus
asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak
terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini
dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model
“pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari
diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah,
mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan
pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja,
tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat
manusiawi.
Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang
dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan
konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar
membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan
belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka
mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa
yang mereka pelajari.
Dalam active learning, cara belajar dengan
mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan
ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan
siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan
akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran
yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat,
menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi
pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi
pembelajaran.
Adapun quantum learning merupakan cara pengubahan
bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di
sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan
sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan
teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan
bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan
mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan
metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda.
Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan
dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk
informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar
yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira
dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan
kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem
perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode
penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model
pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia
kita, dan antarkanlah dunia kita
ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full
content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan,
dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya,
serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya,
diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari
pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat,
menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada
guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory,
Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning
by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah
learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan
mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing
(belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya
adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan
pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat
memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan
upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur
yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai
persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran
fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk
menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Dalam Islam, paradigma pendidikan yang dipakai adalah
persenyawaan antara anthropocentris dan theocentris. Artinya
proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis
terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan
fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan
duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi
kekhalifahan dan penghambaan.
Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia.
Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang
dan berubah setiap saat. Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan
juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu
berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran,
yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu
tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya.
Dimensi theocentris (hablun min Allâh)
dan anthropocentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi
bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap
cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk
lainnya. Dengan demikian, dimensi anthropocentris dan dimensi theocentris pada hakikatnya
mewujudkan kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah
dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati
dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan.
Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak
diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan
landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama,
manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk
lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses
pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang
memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan.
Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia
dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena
tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu
melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke
belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan. Ketiga, ada
perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas
tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin.
Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran
tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis.
Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi
dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial.
Manusia membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia
didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain
dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya. Kelima,
Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari
eksistensi Tuhan. Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab
kepada Sang Ilahi. Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena
didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk langit,
makhluk moral spiritual (moral spiritual being) dan tidak hidup hanya
untuk minum dan makan.
Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap
pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan
terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan,
pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan.
Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan,
kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis
bagi peserta didik.
B.
Permasalahan diluar institusi
pendidikan.
1.
Permasalahan tentang perilaku remaja.
Menurut
Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks,
dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall
(dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan
batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa
remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan
ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang
diperpendek.
Remaja
adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh
pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu
Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja
merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang
masih banyak dikutip orang.
Menurut
Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian
identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan
bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/
confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved
(Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988).
Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini
juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Gunarsa
(1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai
permasalahan pada diri remaja, yaitu:
- Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
- Ketidakstabilan emosi.
- Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
- Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
- Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.
- Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
- Senang bereksperimentasi.
- Senang bereksplorasi.
- Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
- Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok.
Berdasarkan
tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya
perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek
kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). Sebagian remaja mampu
mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami
penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa permasalahan
remaja yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang ada
pada diri remaja. Berikut ini dirangkum beberapa permasalahan utama yang
dialami oleh remaja.
Permasalahan
Fisik dan Kesehatan
Permasalahan
akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja awal ketika mereka
mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa pubertasnya (remaja
tengah dan akhir) permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan
ketidakpuasan/ keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimiliki yang
biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan. Mereka juga sering
membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola mereka.
Permasalahan fisik ini sering mengakibatkan mereka kurang percaya diri. Levine
& Smolak (2002) menyatakan bahwa 40-70% remaja perempuan merasakan
ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian
pinggul, pantat, perut dan paha. Dalam sebuah penelitian survey pun ditemukan
hampir 80% remaja ini mengalami ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya
(Kostanski & Gullone, 1998). Ketidakpuasan akan diri ini sangat erat
kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang berlebihan tentang penampilan,
depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang
maladaptiv (& Shaw, 2003; Stice & Whitenton, 2002). Lebih lanjut,
ketidakpuasan akan body image ini dapat sebagai pertanda awal munculnya
gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia (Polivy & Herman, 1999;
Thompson et al).
Dalam
masalah kesehatan tidak banyak remaja yang mengalami sakit kronis. Problem yang
banyak terjadi adalah kurang tidur, gangguan makan, maupun penggunaan
obat-obatan terlarang. Beberapa kecelakaan, bahkan kematian pada remaja penyebab
terbesar adalah karakteristik mereka yang suka bereksperimentasi dan
berskplorasi.
Permasalahan
Alkohol dan Obat-Obatan Terlarang
Penggunaan
alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan.
Walaupun usaha untuk menghentikan sudah digalakkan tetapi kasus-kasus
penggunaan narkoba ini sepertinya tidak berkurang. Ada kekhasan mengapa remaja
menggunakan narkoba/ napza yang kemungkinan alasan mereka menggunakan berbeda
dengan alasan yang terjadi pada orang dewasa. Santrock (2003) menemukan
beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu,
untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan,
maupun untuk kompensasi.
- Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orang tua, supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orang tua.
- Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.
- Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.
- Cinta dan Hubungan Heteroseksual
- Permasalahan Seksual
- Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua
- Permasalahan Moral, Nilai, dan Agama
Lain
halnya dengan pendapat Smith & Anderson (dalam Fagan,2006), menurutnya
kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko dianggap sebagai bagian dari
proses perkembangan yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering dilakukan
oleh remaja adalah penggunaan rokok, alkohol dan narkoba (Rey, 2002). Tiga
jenis pengaruh yang memungkinkan munculnya penggunaan alkohol dan narkoba pada
remaja:
Salah
satu akibat dari berfungsinya hormon gonadotrofik yang diproduksi oleh kelenjar
hypothalamus adalah munculnya perasaan saling tertarik antara remaja pria dan
wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi
yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada
seseorang atau orang yang sering menyebutnya “jatuh cinta”.
Santrock
(2003) mengatakan bahwa cinta romatis menandai kehidupan percintaan para remaja
dan juga merupakan hal yang penting bagi para siswa. Cinta romantis meliputi
sekumpulan emosi yang saling bercampur seperti rasa takut, marah, hasrat
seksual, kesenangan dan rasa cemburu. Tidak semua emosi ini positif. Dalam
suatu penelitian yang dilakukan oleh Bercheid & Fei ditemukan bahwa cinta
romantis merupakan salah satu penyebab seseorang mengalami depresi dibandingkan
dengan permasalahan dengan teman.
Tipe
cinta yang lain adalah cinta kasih sayang (affectionate love) atau yang
sering disebut cinta kebersamaan yaitu saat muncul keinginan individu untuk
memiliki individu lain secara dekat dan mendalam, dan memberikan kasih sayang
untuk orang tersebut. Cinta kasih sayang ini lebih menandai masa percintaan
orang dewasa daripada percintaan remaja.
Dengan
telah matangnya organ-organ seksual pada remaja maka akan mengakibatkan
munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah
berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya “ketidaknormalan”
yang dialaminya berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual,
homoseksual, kehamilan dan aborsi, dan sebagainya (Santrock, 2003, Hurlock,
1991).
Diantara
perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja yang dapat mempengaruhi hubungan
orang tua dengan remaja adalah : pubertas, penalaran logis yang berkembang,
pemikiran idealis yang meningkat, harapan yang tidak tercapai, perubahan di
sekolah, teman sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergaulan menuju kebebasan.
Beberapa
konflik yang biasa terjadi antara remaja dengan orang tua hanya berkisar
masalah kehidupan sehari-hari seperti jam pulang ke rumah, cara berpakaian,
merapikan kamar tidur. Konflik-konflik seperti ini jarang menimbulkan dilema
utama dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang maupun kenakalan
remaja.
Beberapa
remaja juga mengeluhkan cara-cara orang tua memperlakukan mereka yang otoriter,
atau sikap-sikap orang tua yang terlalu kaku atau tidak memahami kepentingan
remaja.
Akhir-akhir
ini banyak orang tua maupun pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak
mereka terutama remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga
sering dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung
terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di dalam
keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung
ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan
nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang
berbeda.
Pengawasan
terhadap tingkah laku oleh orang dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja
karena lingkungan remaja sudah sangat luas. Pengasahan terhadap hati nurani
sebagai pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja
bisa mengendalikan perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua maupun guru
dan segera menyadari serta memperbaiki diri ketika dia berbuat salah.
Dari
beberapa bukti dan fakta tentang remaja, karakteristik dan permasalahan yang
menyertainya, semoga dapat menjadi wacana bagi orang tua untuk lebih memahami
karakteristik anak remaja mereka dan perubahan perilaku mereka. Perilaku mereka
kini tentunya berbeda dari masa kanak-kanak. Hal ini terkadang yang menjadi
stressor tersendiri bagi orang tua. Oleh karenanya, butuh tenaga dan kesabaran
ekstra untuk benar-benar mempersiapkan remaja kita kelak menghadapi masa
dewasanya.
Adapun masalah yang dihadapi remaja masa kini antara lain :
a. kebutuhan akan figur teladan
Remaja jauh lebih mudah terkesan akan nilai2
luhur yang berlangsung dari keteladanan orang tua mereka daripada hanya sekedar
nasihat2 bagus yagn tinggal hanya kata2 indah.
b. sikap apatis
Sikap apatis meruapakan kecenderungan untuk menolak sesuatu
dan pada saat yang b ersamaan tidak mau melibatkan diri di dalamnya. Sikap
apatis ini terwujud di dalam ketidakacuhannya akan apa yang terjadi di
masyarakatnya.
c. kecemasan dan kurangnya harga diri
Kata stess atau frustasi semakin umum dipakai kalangan
remaja. Banyak kaum muda yang mencoba mengatasi rasa cemasnya dalam bentuk
“pelarian” (memburu kenikmatan lewat minuman keras, obat penenang, seks dan
lainnya).
d. ketidakmampuan untuk terlibat
Kecenderungan untuk mengintelektualkan segala sesuatu dan
pola pikir ekonomis, membuat para remaja sulit melibatkan diri secara emosional
maupun efektif dalam hubungan pribadi dan dalam kehidupan di masyarakat.
Persahabatan dinilai dengan untung rugi atau malahan dengan uang.
e. perasaan tidak berdaya
Perasaan tidak berdaya ini muncul pertama-tama karena
teknologi semakin menguasai gaya hidup dan pola berpikir masyarakat modern.
Teknologi mau tidak mau menciptakan masyarakat teknokratis yang memaksa kita
untuk pertama-tama berpikir tentang keselamatan diri kita di tengah2
masyarakat. Lebih jauh remaja mencari “jalan pintas”, misalnya menggunakan
segala cara untuk tidak belajar tetapi mendapat nilai baik atau ijasah.
f. pemujaan akan pengalaman
sebagian besar tindakan2 negatif anak muda dengan
minumam keras, obat2an dan seks pada mulanya berawal dari hanya mencoba-coba.
Lingkungan pergaulan anak muda dewasa ini memberikan pandangan yagn keliru
tentang pengalaman.
Bentuk2 dari perbuatan yang anti sosial antara
lain :
a. Anak2 muda yang berasal dari golongan orang
kaya yang biasanya memakain pakaian yang mewah, hidup hura2 dengan
pergi ke diskotik merupakan gaya hidup mewah yang tidak selaras dengan
kebiasaan adat timur.
b. Di sekolah, misalnya dengan melanggar tata tertib sekolah
seperti bolos, terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan tugas dan lain
sebagainya.
c. Ngebut, yaitu mengendarai mobil atau motor
ditengah-tengah keramaian kota dengan kecepatan yang melampaui batas maksimum
yang dilakukan oleh para pemuda belasan tahun.
d. Membentuk kelompok (genk2) anak muda yang
tingkah lakunya sangant menyimpang dengan norma yagn berlaku di masyarakat,
seperti tawuran antar kelompok.
Strategi yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Penanganan di
Lingkungan Sekolah
Salah satu penyebab
anak usia sekolah nakal karena tidak memiliki sistem nilai sebagai pedoman
dalam kehidupanya. Dengan demikian, mereka sangat mudah untu mengadopsi sesuatu
yang ada di masyarakat tanpa menyaring terlebih dahulu. Untuk itu sekolah
sebagai penyelenggara pendidikan formal harus mengubah sistem pengajaran yang
lebih menekankan pada aspek kognitif, ke sistem pengajaran yang seimbang antara
kognektif, afektif dan psikomotor. Perpaduan ketiga aspek tersebut akan
memberikan bekal kepada siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penggarapan aspek
afektif (sikap, minat, sistem nilai, apresiasi) akan berdampak positif terhadap
perilaku siswa.
Pada dasarnya setiap
siswa memiliki sistem nilai, jika sistem nilai ini kita klarifikasikan maka
akan mempengaruhi perilaku siswa baik secara individu maupun secara
berkelompok. Penanaman sistem nilai kepada siswa di sekolah hendaknya dengan
berbagai strategi dengan melibatkan semua guru bidang studi. Menanggulangi
masalah kenakalan remaja termasuk pengguna narkoba (narkotik dan obat terlarang
) khususnya di sekolah perlu kerjasama antara guru agama, PPKn, bimbingan
konseling, olahraga kesehatan, dan biologi secara terintegrasi
a. Pendekatan melalui
Agama
Guru agama dalam
menjelaskan masalah kenakalan ramaja (perilaku menyimpang, penggunaan narkotik,
minuman keras) bisa dengan cara memberi tugas kepada siswa untuk mencari ayat
Al-Quran dan hadist nabi yang berkaitan dengan masalah tersebut, sehingga siswa
akan memahami betul isi dari ajaran agama yang diyakininya berkaitan dengan permasalahan.
Harus diingatkan bahwa mempelajari Al-Quran dan hadist nabi harus dimulai
dengan keyakinan bukan dimulai dari keraguan sebagaimana mempelajari ilmu.
Dengan demikian, tidak akan menyalahkan alquran maupun hadist jika yang
terdapat dalam pikiranya berbeda. Justru dengan kejadian itu dapat dijadikan
sebagai bahan renungan dan koreksi diri apa yang telah diperbuat.
Dengan strategi
pemberian tugas tersebut diharapkan siswa akan mengerti menyadari, dan memahami
dengan penuh makna apa yang dipelajari sehingga mereka taat akan agamanya,
serta mengetahui akibat jika melakukan tindakan yang salah. Pada dasarnya
setiap agama melarang umatnya memakai atau mengonsumsi norkoba. Dalam hal ini
agama Islam dengan tegas melarang umatnya minum minuman keras. Agama Islam
menganjurkan pada umatnya agar sesama manusia untuk saling mengenal, menolong,
dan bekerjasama bukan untuk saling berkelahi., karena dengan saling tolong
menolong dan bekerjasama akan mendatangkan suatu keuntungan.
Problem kenakalan
remaja dan narkoba jika dikaji dari berbagi ilmu akan memiliki tujuan yang luar
biasa. Misalnya minuman keras akan menyebabkan manusia mabuk (tidak sadarkan
diri) sehingga tindakan yang dilakukan cenderung merugikan orang lain. Secara
logika saja tidak mungkin dalam keadaan mabuk seseorang melakukan sesuatu
dengan benar.
b. Pendekatan Moral
dan Hukum (PPKN)
PPKn merupakan bidang
studi yang mengajarkan nilai, norma, dan moral kepada siswa, untuk itu guru
PPKn memeliki kewajiban untuk ikut menyelesaikan masalah kenakalan remaja. Hal
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara melalui proses pembelajaran dengan
menggunakan multi metode dan media seperti Value Clarification Technik
(pembinaan nilai), sosio drama, bermain peran, liputan, diskusi, pertemuan
kelas, dan pemberian tugas. Penggunaan metode ini hendaknya disesuaikan dengan
pokok bahasan, situasi dan kondisi sehingga benar-benar dapat bermakna bagi
siswa.
Penggunaan metode VCT
(pembinaan nilai) baik VCT percontohan, skala sikap, daftar baik buruk dapat
melatih siswa untuk memilih sistem nilai yang akan diyakini dalam menghadapi
suatu masalah. Dengan sering dilatih emosinya ini, maka diharapkan remaja
(siswa) dapat menyaring atau memilah-milah suatu informasi dari media masa
maupun masyarakat.
Guru dapat memberi
tugas kepada siswa untuk mencari contoh masalah kenakalan remaja yang ada di
masyarakat. Tugas ini diberikan kepada siswa dengan tujuan agar mereka lebih
sensitip terhadap problem yang terjadi di masyarakat. Kemudian siswa diberi
kesempatan untuk memberikan kometar, penyebab dan akibat remaja melakukan
perbuatan yang menyimpang serta bagaimana cara mengatasinya. Tugas tersebut
akan melatih siswa untuk mengetahui secara mendalam tentang permasalahan remaja
dan cara-cara untuk menyelesaikan. Kegiatan ini juga dapat melatih siswa
bersosialisasi dengan masyarakat lingkunganya. Hal ini sejalan dengan
pembelajaran portofolio dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK)
Di samping itu guru
hendaknya menugaskan kepada siswanya untuk mencari pasal-pasal dalam hukum
pidana (tentang perkelaian, penganiayaan, minuman keras dan pengguna narkoba)
kemudian didiskusikan di dalam kelas untuk dicari solusinya. Dalam diskusi agar
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebaiknya melibatkan aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim) sebagai nara sumber untuk menjelaskan sebab akibat
dari penggunaan narkoba, berkelahi, minuman keras, dan berbuat kekerasan lainya
ditinjau dari hukum.
c. Pendekatan melalui
olahraga kesehatan
Olahraga adalah salah
satu cara untuk menyelesaikan masalah kenakalan remaja terutama pengguna
narkoba. Berdasarkan hasil penelitian di Yogyakarta bahwa anak-anak remaja
memakai narkoba dengan alasan untuk menghilangkan stres, mendapatkan
ketenangan, mencari kesenangan dan kenikmatan, menyesuaikan dengan perilaku
teman.
Alasan tersebut
hanyalah merupakan jalan pintas dalam menyelesaikan masalah yang dilakukan oleh
remaja, sebenarnya masih banyak jalan lain untuk menyelesaikan antara lain
dengan berolah raga. Sekolah hendaknya mengaktifkan kegiatan ekstrakurikuler di
sekolah. sebab olah raga memiliki manfaat antara lain:
1. Merangsang
keluarnya B indorfin yang merupakan morfin yang diproduksi oleh tubuh sendiri.
Hal ini dapat mendatangkan rasa senang, tenang, dan sakit.
2. Mengurangi kadar
garam yang tinggi. Zat ini dapat membuat cemas, pemarah dan stres.
3. Menambah osigen
otak. Cukupnya oksigen otak akan memperbaiki suasana hati dan menambah daya
konsentrasi
4. Memproyeksikan
kemarahan dan kecemasan. Kemarahan dapat dilampiaskan dengan cara memukul bola
keras-keras, berlari dan sebagaimya
d. Pendekatan melalui
Bimbingan Konseling (BP)
Bimbingan konseling
sangat berperan dalam menangani masalah siswa (remaja). Melaui BP diharapkan
siswa mau menyampaikan masalah yang dihadapinya, karena BP memiliki keahlian
khusus dalam bidang psikologi. Pendekatan yang digunakan haruslah humanis
melalui sentuhan jiwa (rohani). Dengan demikian, diharapkan BP dapat dijadikan
tempat berdialog para siswa dalam mengahadapi suatu persoalan. Dengan
pendekatan ini maka siswa merasa dilindungi (diperhatikan).
Selain itu juga perlu
diadakan razia narkoba secara rutin dan terprogram. Razia hendaknya
dilaksanakan dengan semua guru yang dilakukan dengan serempak dan terorganisir
sehingga siswa tidak dapat mengelak jika diketemukan membawa narkoba di dalam tas
maupun sakunya.
e. Pendekatan melalui
Biologi
Biologi merupakan
ilmu yang mempelajari makluk hidup salah satunya adalah manusia. Dalam proses
belajar mengajar guru biologi perlu menyisisipkan bahasan tentang bahaya
narkoba terhadap tubuh manusia. Manusia yang mengonsumsi narkoba maka daya
tahan fisik, fungsi otak akan berkurang. Bahkan berdasarkan hasil penelitian
akibat narkoba terhadap otak adalah encernya cairan otak yang mengakibatkan
lambat berpikir. Dengan penjelasan yang disampaikan guru diharapkan siswa
betul-betul mengetahui akibatnya jika mereka mengonsumsi narkoba.
2. Penanganan di
lingkungan keluarga.
Keluarga sebagai
tempat pendidikan anak pertama harus lebih peka terhadap perkembangan perilaku
anaknya. Dengan demikian, diharapkan anak dapat berkembang sesuai dengan nilai,
norma yang berlaku. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut yang harus dilakukan
orang tua antar lain adalah sebagai berikut:
Pertama harus
ditanamkan nilai dan norma agama dalam diri anak. Karena agamalah yang dapat
mengendalikan perilaku manusia. Jika melakukan ajaran agama dengan baik maka
baiklah perilakunya tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berdiskusi
tentang berbagai permasalahan yang dihadapi remaja ditinjau dari agama dan
bidang lain, melakukan sholat berjamaah.
Kedua orang tua harus
dapat meluangkan waktunya untuk berkumpul dengan anaknya dalam rangka memahami,
mengetahui kebutuhan psikis maupun fisik serta permasalahan yang dihadapi
anaknya. Memecahkan permasalahan yang dihadapi anaknya yang sudah remaja hendaknya
melibatkan seluruh anggota keluarga, dengan mendengarkan pemasukan dari semua
amggota keluarga maka permasalahan tersebut dapat diselesaikan lebih baik.
Ketiga orang tua
harus mengetahui teman-teman dekat anaknya. Hal ini dilakukan agar dapat lebih
mudah mengontrol anaknya, apakah temanya tersebut baik ataukah anak brandalan.
Perilaku remaja selain dipegaruhi oleh keluarga juga oleh teman sebaya, maka
dalam memilih teman bergaul juga harus memperhatikan latar belakangnya. Orang
tua dengan mengetahui teman-teman dekatnya sehingga mereka dapat memberikan
suatu pandangan kepada anaknya bagaimana seharusnya bergaul.
3. Penanganan Di
Lingkungan Masyarakat (Bidang Sosial)
Kepedulian masyarakat
terhadap masalah remaja perlu ditingkatkan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara
mengawasi kegiatan remaja dalam masyarakat. Masyarakat hendaknya memberikan
suatu saran kepada para remaja jika mereka melakukan suatu tindakan yang
menyimpang dari niai-niai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kepedulian ini juga dapat diwujudkan dengan cara melaporkan kepada yang
berwajib (polisi) jika mengetahui adanya perdagangan obat terlarang, melakukan
perkelahian, minum-minuman keras ataupun melakukan tindakan kekerasan yang
lainya. Kepedulian masyarakat ini akan membantu dalam mengatasi permasahan
kenakalan remaja. Hal lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah mengajak
remaja dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarkat (gotong royong, aktif dalam
kegiatan kepemudaan, keagamaan) serta memberikan suatu keterampilan yang berguna
dalam hidupnya..
4. Penanganan oleh
Pemerintah (bidang politik)
Generasi muda adalah
pemegang tongkat estafet pembangunan bangsa. Ada sebagian masyarakat kita
berpendapat jika pemuda rusak maka rusaklah bangsa namun jika pemuda baik, maka
baiklah bangsa ini. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat menyiapkan generasi
muda yang beriman dan bartaqwa, berkepribadian luhur, dan kreatif. Untuk
mewujudkan itu maka pemerintah harus memiliki langkah-langkah kongkrit.
Langkah-langkah tersebut antara lain:
a. Lebih mengaktifkan
kembali kegiatan organisasi kepemudaan seperti karang taruna, KNPI, dan
organisasi-organisasi kepemudaan yang lain. Hal ini dilakukan untuk memecahakan
permasalahan yang dihadapi remaja denga cara berdialog antar remaja dan juga
bisa digunakan sebagai kegiatan para remaja untuk berkreasi.
b. Melakukan
penyuluhan tentang bahaya narkoba pada remaja sampai ketingkat pedesaan.
c. Meningkatkan dan
membuka pelatihan-pelatihan untuk generasi muda. Kegiatan ini akan memberikan
suatu keterampilan para remaja sehingga bisa mengurangi pengangguran. Akhirnya
kegiatan yang negatif dari remaja dapat ditekan seminimal mungkin.
d. Memberikan hukuman
yang berat kepada pengguna narkoba dan tindak kriminal. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukan bahwa remaja yang menggunakan narkoba, melakukan tindakan
kriminal, minum-minuman keras pada umumnya mereka sudah mengetahui bahaya
narkoba bagi kesehatan, akibat melanggar hukum, dan tindakan merugikan orang lain.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
(8) . Kekerasan dalam dunia pendidikan
(9). Permasalahan tentang perilaku remaja.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
DAFTAR PUSTAKA
http://sekorakyat.org/penyaluran-dana-bos-yang-bikin-masalah.html
http://rinangesty.student.umm.ac.id/category/1-masalah-pemerataan-pendidikan/
Direktorat Dikmenum Depdiknas. 2001. Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta.
Supriadi, Dei. 1999. Mengangkat Citra Guru dan
Martabat Guru. Yoyakarta: Adicita Karya Nusa.
Wirawan. 2001.Evaluasi Program Pendidikan:
bahan kuliah Program Studi Magister Pendidikan. Jakarta: UHAMKA Press.
Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Penilaian
Kelas. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Panduan
Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Pusat Kurikulum
Badan Penelitian dan Pengembangan.
Departemen Pendidikan Nasional (2008). Pedoman
Penyusunan Portofolio. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=9232
Lokasi:Banjarmasin
Banjarmasin, Indonesia
Langganan:
Postingan
(
Atom
)